Laporan Wartawan Grid.ID, Elizabeth Ayudya RR
Grid.ID - Krisis baru timbul di barak pengungsi Rohingya.
Beberapa wanita korban pemerkosaan dikabarkan segera melahirkan.
Dikutip dari Washington Post, Doctors Without Borders dan Save The Children tengah berjuang untuk mempersiapkan kelahiran anak-anak tanpa ayah di Rohingya.
Doctors Without Borders mencatat 160 kasus korban perkosaan hamil antara Agustus 2017-Februari 2018 di barak pengungsian besar di Bangladesh.
BACA:Tak Hanya Istri Virgoun, 5 Artis Cantik Ini Juga Mantap Bercadar
Angka itu diperkirakan akan meningkat secara dramatis.
Menurut UNFPA, sekitar 13.500 wanita Rohingya menderita kekerasan seksual saat mereka melarikan diri dari rumah mereka dan pergi ke Bangladesh.
"Puncak pemerkosaan adalah Agustus 2018," ujar Daniella Cassio, bidan sekaligus koordinator pengkaji kekerasan gender berbasis seksual Doctors Without Borders.
Diketahui, sejak Agustus sekitar 700.000 orang Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh dari Myanmar.
BACA:Pesan Ramadhan Donald Trump Gegerkan Umat Muslim Dunia
Minoritas muslim Rohingya telah hidup di bawah tekanan selama beberapa dekade terakhir.
Mereka mengatakan, militer Burma telah membakar seluruh desa, menyiksa orang, dan memperkosa perempuan.
Korban pemerkosaan rata-rata berusia 13-25 tahun.
Namun, pada bulan November, militer Burma merilis laporan berisi penyangkalan atas tuduhan pemerkosaan tersebut.
BACA:Menggemaskan, yuk Intip Gaya Hot Moms Olla Ramlan dengan Overall Dress, Imut Banget deh!
Madina Khatun (25) membagikan kisah pilunya menjadi salah satu korban kekejian militer Burma.
Khatun menyadari bahwa dirinya hamil ketika tiba di Bangladesh.
Beberapa bulan sebelum Khatun mengalami pemerkosaan, suaminya diculik dari desa.
Khatun menganggap status jandanya membuat militer Burma lebih mudah memperkosanya.
BACA:Gunakan Senjata Milik Ayah, Seorang Mahasiswa Melakukan Penembakan Brutal di SMA Texas
Khatun melahirkan putrinya, Rosiana di barak pengungsian yang sesak dan tidak layak tanpa bantuan keluarga atau bidan.
"Banyak penderitaan yang harus dirasakan, termasuk rasa malu," ujarnya.
Khatun merasa sedikit tenang ketika mengetahui bahwa dia bukan satu-satunya korban kebejatan militer Burma.
"Ini bukan hanya nasib saya," tutur Khatun.
BACA:5 Potret Istri Radja Nainggolan, Ibu Rumah Tangga yang Serba Bisa!
Saat ini Khatun tinggal di Kutupalong, barak pengungsian Rohingya di Bangladesh bagian selatan bersama para wanita yang memiliki banyak anak dan berjuang untuk mendapatkan makanan yang cukup.
Tidak jarang bagi para korban menyembunyikan status kehamilan mereka.
Sekitar 80 persen wanita Rohingya melahirkan di rumah.
Hal tersebut berarti banyak kelahiran yang tidak terdeteksi.
Biar Nggak Mudah Ngantuk Selama Bulan Puasa, yuk Coba 4 Hal Sederhana Ini
Seorang bidan bernama Akter juga membagikan kisah salah satu pasiennya.
Kala itu, keluarga pasien membawa korban yang katanya menderita sakit perut.
Ketika pemeriksaan, Akter menemukan tongkat patah yang bersarang di dalam rahim korban.
Dua hari kemudian, pasien meninggal dunia.
Setelah itu, keluarga pasien mengakui bahwa wanita tersebut belum menikah dan merupakan korban pemerkosaan.
"Keluarga membayar seorang wanita lokal untuk melakukan aborsi ilegal," kata Akter.
Menurut Save The Children, sekitar 50.000 bayi diperkirakan akan lahir pada tahun 2018.
Meledaknya angka kelahiran bayi dari korban perkosaan bisa dengan mudah mengarah ke krisis perawatan kesehatan.
BACA:Deretan OOTD Hijab Motif ala Selebgram Nisa Cookie, Inspirasi Biar Gayamu Nggak Kelihatan Lebay
Banyak anak terlantar dibawa ke klinik bersalin Doctors Without Borders di Kutupalong.
"Kami tidak memiliki fasilitas atau ruang untuk menjaga bayi-bayi ini," kata Cassio.
Bayi-bayi itu tinggal di klinik selama beberapa hari kemudian mereka diteruskan ke Save the Children yang telah menciptakan sistem asuh informal dan menempatkan bayi dengan keluarga Rohingya lainnya.
Namun tanpa dukungan pemerintah Bangladesh, akan semakin sulit untuk mempertahankan sistem ini karena jumlahnya meningkat sepanjang bulan Mei (menurut juru bicara Save the Children, Daphnee Cook). (*)
Source | : | Washington Post,radionz.com |
Penulis | : | Elizabet Ayudya |
Editor | : | Elizabet Ayudya |