Sehingga Ustaz Ahmad Syafii mensalatkan Hindun di rumahnya.
"Alasannya, nggak ada orang yang mau nyalatin (di mushola). Padahal, kami ini anak dan cucunya ramai menyalatkan, tapi memang orang lain (warga lain) cuma empat orang (yang datang ke rumah)," terang Neneng.
Neneng menceritakan, saat Pilkada DKI empat petugas KPPS mendatangi rumah mereka untuk meminta Hindun ikut mencoblos.
"Pas pemilihan itu, Mak (Hindun) disuruh nyoblos, ya namanya orang tua sudah nggak tau apa-apa, nyoblos asal aja. Kebetulan yang dicoblos nomor dua dan dilihat sama empat orang petugas itu," terang Neneng.
Sejak itulah, kata Neneng, keluarganya dituduh sebagai pendukung penista agama.
"Ya pas nyoblos itu kan terbuka, dilihat orang banyak. Saya ragu juga, bukannya nggak boleh dilihat siapapun? Tapi, karena Mak sakit, ya sudahlah, kami nggak ambil pusing, pokoknya nyoblos," terang Neneng.
Pencoblosan itu, ternyata jadi malapetaka. Keluarga mereka dituduh mendukung Ahok yang kini berstatus terdakwa dalam kasus penistaan agama.
"Nyatanya itu yang bikin masalah, keluarga kami dituduh keluarga kafirlah, mereka anggap kami semua milih Ahok, padahal itu kan Mak nggak tau apa-apa, asal nyoblos aja," keluh Neneng.
Saat mau disalatkan, kata Neneng, jenazah Hindun dipergunjingkan oleh warga.
Keputusan Ahmad Syafii untuk mensalatkan ibunya di rumah dianggap sebagai keputusan atas spanduk yang dipasang di mushola.
"Di sana banyak yang bilang, jangan disalatkan, itu pemilih Ahok," kata Neneng.
Versi warga
Sementara itu etangga Sunengsih, Syamsul Bahri, kepada detik.com menuturkan, warga membantu mengurus jenazah Hindun.