Grid.ID - Saat ini, pengguna smartphone makin besar jumlahnya.
Tentu saja diiringi peningkatan layanan yang dipakai, termasuk mobile banking. Namun, tren penggunaan mobile banking yang terus meningkat ini, menempatkan pertahanan infrastruktur TI bank lebih berisiko terkena serangan siber.
Hal ini juga menyebabkan bank terus berada di bawah tekanan.
Sehingga dituntut untuk lebih meningkatkan sistem keamanan mereka.
Selain itu, nasabah juga berperan penting dalam hal pelaporan insiden keamanan.
Sebanyak seperempat (24%) lembaga keuangan mengatakan bahwa beberapa ancaman yang mereka hadapi di tahun 2016, diidentifikasi dan dilaporkan oleh nasabah.
BACA JUGA (PENTING! 5 Langkah Praktis Amankan Smartphone Kamu dari Modus Kejahatan)
Biaya Keamanan TI Bank, 3 Kali Lebih Besar
Menurut penelitian Kaspersky Lab dan B2B International mengenai Financial Institutions Security Risks yang disampaikan kepada Grid.ID (24/3), investasi keamanan menjadi prioritas utama bagi perbankan dan lembaga keuangan.
Akibat serangan siber kepada infrastruktur atau nasabah, bank harus mengeluarkan dana tiga kali lebih besar untuk keamanan TI, jika dibandingkan dengan lembaga non-keuangan.
Selain itu, 64% dari bank mengakui, bahwa mereka akan berinvestasi meningkatkan keamanan TI, terlepas dari laba atas investasi (ROI).
Ini untuk memenuhi tuntutan yang terus meningkat dari regulator pemerintah, pimpinan manajemen serta pelanggan mereka.
Bank memang telah mengalokasikan anggaran serta upaya yang serius dari ancaman siber.
Namun kenyataannya, melindungi ATM dan Point-of-Sale terminal, terbukti sangat sulit.
Ancaman yang luas dan selalu berubah, ditambah tantangan untuk memperbaiki kebiasaan nasabah supaya berprilaku aman, memberikan celah bagi pelaku kejahatan.
BACA JUGA (Bunga Zainal Petik Hikmah dari Kasus Penipuan yang Dialaminya)
Resiko Terbaru: Serangan Rekayasa Sosial Terhadap Nasabah Perbankan
Laporan ini juga menyoroti munculnya risiko terkait mobile banking sebagai tren, yang membuka peluang terhadap ancaman siber terbaru.
Sebanyak 42% perbankan memprediksi bahwa mayoritas nasabah mereka akan menggunakan mobile banking dalam jangka waktu tiga tahun.
Namun bank juga mengakui bahwa nasabah terkadang terlalu ceroboh dalam perilaku online mereka.
Mayoritas bank yang disurvei (46%), mengakui bahwa nasabah mereka sering diserang aksi kejahatan phishing.
Phising sendiri adalah aktifitas pencurian data, lewat berbagai cara, termasuk jebakan di media sosial.
Ada 70% bank yang juga melaporkan insiden penipuan keuangan.
Akibatnya, timbul kerugian keuangan.
BACA JUGA (Pacaran Online: Pastikan Kamu Tidak Mengencani Seorang Penipu!)
Peningkatan serangan phishing dan rekayasa sosial terhadap nasabah, membuat bank harus menilai kembali upaya keamanan mereka.
Ada 61% bank yang meningkatkan keamanan aplikasi dan situs web nasabah, sebagai salah satu prioritas keamanan.
Lalu diikuti otentikasi yang lebih kompleks dan verifikasi rincian log-in (prioritas utama bagi 52% responden).
Meskipun nasabah rentan terhadap trik phishing, bank masih lebih mengkhawatirkan tentang 'musuh lama' yang lain yaitu serangan yang ditargetkan.
Serangan ini termasuk malware yang menyamar sebagai sebuah layanan.
Sementara itu, kepedulian bank terhadap ancaman relatif rendah.
BACA JUGA (Pernah Tertipu Beli Online via Medsos? Pakai Aplikasi Ini, Uang Pasti Balik Jika Barang Tak Dikirim)
Ini menyebabkan kerugian finansial akibat serangan kepada ATM, padahal kenyataannya mereka sangat rentan terhadap jenis serangan ini.
Hanya 19% bank yang menaruh perhatian terhadap serangan ke ATM dan mesin penarikan uang tunai.
Padahal laju pertumbuhan malware terus-menerus menargetkan ATM ini.
Intinya, berhati-hatilah saat memakai ATM.
Karena penjahat akan selalu mencari cara untuk membobol rekeningmu.
Apalagi, para penjahat ini lebih mudah mencuri data, akibat maraknya aktifitas mobile banking.
Terutama karena banyak orang punya nomor PIN yang sama antara ATM dan mobile banking. (*)