Yang masih diingat oleh Sri, di antaranya adalah 6 patahan di tulang rusuk depan, empat patahan di tulang kering dan sejumlah patahan di bahu kiri dan kanan, rusuk belakang, tangan kiri dan kanan, siku kiri dan kanan serta bagian paha.
"Kalau tulangnya ada yang patah Fahri pasti nangis karena tulangnya kan saling tumpang. Suaranya (tulang patah) pasti terdengar cukup keras. Waktu itu cuma kena mainan, patah," kata Sri.
Saking seringnya mengalami patah tulang, Fahri terkadang menyembunyikan rasa sakitnya agar ibunya tidak khawatir dan cemas.
Diam-diam tulang yang patah diurutnya sendiri dengan tangannya hingga kembali tersambung seadanya.
"Biasanya kalau Fahri minta botol mau kencing, itu pasti ada apa-apa sama Fahri," tuturnya.
Sri memiliki kesabaran yang cukup besar untuk merawat anaknya seorang diri setelah suaminya menceraikan perempuan itu saat usia Fahri masih berusia 4 tahun.
Setiap hari, Sri menjajakan tisu di lokasi-lokasi wisata di Kota Bandung.
Dalam satu hari, Sri bisa menghasilkan Rp 200.000.
Setengah penghasilannya untuk biaya pengobatan, terapi dan perawatan Fahri, sementara setengahnya untuk makan sehari-hari.
Sri hanya bisa pasrah dan terus berupaya merawat anaknya.
"Dengan kondisi seperti ini, saya cuma berharap anak saya bisa diterima masyarakat dan disamakan dengan anak-anak lainnya," harap Sri.