Dalam pementasan bertema peristiwa 65, Papermoon Puppet Theatre bercerita tentang seorang anak yang selalu menanti sang ayah yang tak kunjung pulang karena menjadi korban peristiwa 65.
Ria Papermoon mengungkapkan pementasan teater boneka yang mengandalkan gestur, lighting, musik dan tanpa dialog lebih memancing emosi dan merasuki jiwa penonton.
"Iya bisa, 65 itu kan ngomongin kehilangan kan, kemanusiaan, ngomongin anak kecil tiup-tiul peluit bapaknya nggak datang-datang itu, udah selesai."
"Orang malah dapatkan zone emosi yang jauh lebih besar ketimbang banyak kata-kata, karena tanpa kata-kata orang-orang terbuka untuk imajinasi, mereka membangun cerita sendiri, merelasikan dengan pengalaman pribadi tanpa didikte harus sepakat jalan ceritanya," ungkap Ria Papermoon.
Baca Juga : Romantis Ala Maya Septha: Lakukan Hal yang Tidak Disuka Demi Pasangan
Ria Papermoon ingin menarik emosi dan memberikan pesan kepada para penonton, akibat peristiwa tersebut cukup banyak anak-anak yang terlaksa menjadi anak yatim.
"Ketika kita bilang seorang anak yang kehilangan bapaknya begitu saja, apa kabar kita mendengarnya, apa kita masih punya empati yang besar tentang untuk orang-orang itu," ungkap Ria Papermoon.
Pementasan teater boneka bertema peristiwa tahun 65 diawali di Indonesia hingga beberpa kota di luar negri.
"Pertunjukanya kami mulai di Yogya, terus kami berangkat ke Jakarta, terus Singapur, 7 kota di Amrik, lanjut Australi, karya itu memang banyak traveling, karena orang merasa itu bukan hanya sejarah Indonesia, itu juga sejarah kami," ungkap Ria Papermoon.
(*)