Aturan yang baru akan sama patokannya, tapi ditambah lagi dengan adanya (emisi) carbon.
”Kenapa? Karena kami memikirkan tahun 2030 harus menurunkan CO2 sebesar 29 persen sesuai dengan COP21 (Paris Climate Conference yang dikuti 195 negara di dunia) kan, kami arahkan ke sana,” lanjut Putu.
“Nanti KBH2 punya jalur sendiri untuk menurunkan karbon-nya,” tegasnya.
Tak hanya itu, Putu menambahkan bahwa merek-merek yang berminat juga punya kewajiban yang sama dengan keikutsertaan pada KBH2, di antaranya memenuhi tingkat kandungan lokal minimal.
”Bukan berarti APM (agen pemegang merek) mau CBU (Compeletly Built Up), nggak bisa. Dia harus manufaktur di sini, sama seperti KBH2,” ujar Putu.
(BACA JUGA: Mobil Keren Ini Siap Lawan Honda Jazz dan Toyota Yaris, Lihat Yuk di IIMS 2017)
Lalu, siapa saja yang berpeluang?
Banyak! Merek-merek yang selama ini sudah melakukan produksi di Indonesia mobil-mobil non KBH2 bisa masuk.
Bahkan mobil-mobil dengan ”nama besar” dan laris pun sangat bisa nyemplung.
Toyota mungkin paling banyak, karena mereka sudah memproduksi beberapa model di sini.
Misalnya Yaris, Vios, Fortuner, Avanza dan lainnya.
Atau Honda yang punya tujuh model rakitan Karawang, macam Mobilio, BR-V, HR-V, Jazz, Brio Satya, Brio RS, dan CR-V.
MPV sejuta umat Mitsubishi yang bakal diluncurkan Agustus mendatang dan mulai dijual Oktober 2017, juga bisa masuk dalam skema ini, karena sudah diproduksi di pabrik mereka di Bekasi.
(BACA JUGA: Mitsubishi Siap Jual Mobil Baru Tantang Toyota Avanza, Toyota Pede Nggak Bakal Kalah, Ternyata Ini Alasannya)
Berapa persen bisa lebih murah?
Putu belum bisa berkomentar, karena rancangan LCEV masih dalam tahap penggodokan dan belum bisa diputuskan, kapan bakal resmi bergulir. (*)