Grid.ID - Dunia kembali diancam krisis perang nuklir.
Hal ini lantaran Amerika Serikat (AS) berniat keluar dari perjanjian nuklirnya dengan Rusia.
Seperti diketahui, AS dan Rusia meneken perjanjian nuklir The Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty pada 1 Juni 1987.
Dalam perjanjian nuklir itu kedua belah pihak sepakat tidak membangun rudal balistik antar benua berjangkauan 500-5.500 km.
Baca Juga : Bukan Hanya Etta Ng yang Bermasalah, Putra Sulung Jackie Chan Juga Hampir Dihukum Mati
Namun belakangan ini presiden AS Donald Trump berencana keluar dari perjanjian tersebut.
Seperti dikutip dari Kompas.com, Selasa (27/11) menanggapi hal ini Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Ryabkov mengatakan militer Rusia sudah siap dengan skenario terburuk perang nuklir dengan AS.
"Kami sudah mendengarnya. Namun kami tak ingin dikecewakan oleh kolega kami. Karena itu, militer sudah menyiapkan skenario terburuk," kata Ryabkov.
Ryabkov berasumsi jika Washington sudah bergerak menempatkan rudal nuklirnya di sekitaran Eropa agar bisa menjangkau Rusia.
Baca Juga : Tanpa Disadari Berada di Sekitar Kita, Konon Benda-benda Ini Dibuat Oleh Iblis
Berdasarkan hal ini, Ryabkov memastikan AS dan sekutunya akan membayar mahal jika berani menyerang negeri Beruang Merah.
Meski begitu Ryabkov menolak merinci aksi militer apa yang bakal diberikan Rusia jika negaranya diserang.
Namun kemungkinan besar Rusia akan melakukan Saturasi rudal nuklirnya ke daratam AS dan sekutunya.
Pada akhir Oktober presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan militernya bakal menyerang siapa saja negara Eropa yang mengizinkan AS menempatkan rudal nuklirnya di sana.
Baca Juga : Tak Percaya Adanya Akhirat, Ilmuwan Berusia 104 Tahun Ini Minta Disuntik Mati Sembari Makan Kripik
"Reaksi bakal bersifat cepat dan efektif. Setiap aksi dari negara Barat bisa memaksa negara kami melakukan aksi balasan," tegas Putin.
Rencana Trump untuk cabut dari perjanjian nuklir ini malah mendapat tentangan keras dari Jerman maupun Perancis.
Hal ini karena dengan keluarnya AS dari perjanjian tersebut bakal mempermudah Rusia menyerang negara-negara Eropa. (*)