Sesungguhnya jalur tersebut tidak aman.
Hutan Aceh di sepanjang jalur tersebut, kata kakek hidup berbagai jenis hewan liar.
Dalam perjalanannya, mereka sering bertemu dengan harimau, gajah, badak, dan ular yang melintasi jalan.
Menariknya, tak sekalipun mereka diganggu.
Saat berpapasan dengan binatang yang ada, khususunya gajah dan harimau, biasanya mereka berhenti.
Selain kerap berhadapan dengan binatang, kakek juga mengaku sering bertemu dengan Suku Mante.
Katanya, Mante bertubuh kecil dan kakinya terbalik.
Bagian jari kaki justru di belakang.
Sementara tumit berada di depan, namun larinya kencang.
Di tangannya selalu ada senjata berbahan kayu atau lebih pas disebut pemukul.
Mereka tak pernah bisa berhadap-hadapan, yang ada hanya jejaknya yang lucu.
Karena cap tumitnya di depan dan kejadian itu tidak sekali saja.
Dari cerita kakek, beliau setidaknya pernah bertemu selama tiga kali.
Selama itu pula “Mante” lari tunggang langgang ke dalam hutan.
Dipercayai atau tidak, kata kakek Mante tersebut memang hidup dalam hutan.
Dia berpindah-pindah sesuai dengan ketersediaan makanannya.
Kisah itu diceritakan oleh beberapa temannya yang lain.
Katanya sempat ditemukan bekas pembakaran dan peralatan masak di tengah-tengah hutan.
Bentuknya tidak biasa. Terbuat dari kayu dan batu. Soal itu, cerita kakek tidak spesifik. (*)