Namun kalangan wanitanya menghindar sehingga dibuatlah satu tempat terbuka agak luas di tepian sungai.
Rumah sederhana dibuat dari tumbuhan batang pohon yang ada di sana dan bermukimlah mereka di pinggiran sungai tersebut bersama anak-anaknya.
Tentu saja di sana tak ada listrik, tak ada gas, dan air berasal dari sungai yang ada di sana, dipakai untuk minum, untuk masak dan untuk mandi.
Sedangkan makanan dari binatang yang ada di hutan, baik babi hutan, kelelawar, tikus hutan, ikan dan sebagainya.
Pakaian mereka serta kain gendongan buat anak dan bayu dibuat sendiri dari pepohonan yang ada di sana, dijadikan benang dan dirajut sendiri.
Pewarnaan benang rajut pun dari pohon-pohon tumbuhan yang ada di sana.
Menarik pula ada gendongan bukan untuk anak, tetapi seorang Korowai menggendong anjing di belakangnya pakai kain rajutan tersebut.
Sagu menjadi makanan pokok mereka. Sekali tebang bisa membuat sagu yang dikeringkan lalu sebelum dimakan dibakar, bisa disimpan untuk satu bulan.
Seorang anggota Korowai bernama Marko dengan inisiatifnya melakukan penghijauan pohon sagu, "Kalau sudah tebang pohon sagu harus menghijaukan tanam anaknya juga supaya tidak habis pohon sagu nanti bagi generasi mendatang."
(Tribunnews.com/Richard Susilo)