Grid.ID-Akhir-akhir ini tema toleransi memang banyak diperbincangkan baik oleh yang pro maupun kontra.
Media sosial menjadi arena pertempuran yang membuat sesama anak bangsa terpecah-belah.
Atas hal itu, seorang siswi SMA, Afi Nihaya Faradisa, menjadi viral dan beredar luas di dunia maya.
Afi adalah siswi Negeri 1 Gambiran, Banyuwangi, dan ayahnya seorang pedagang kaki lima (PKL) di sekolah.
Tulisannya sungguh bijak dan dipuji banyak netizen, menggambarkan kedewasaan yang jauh dari usianya.
Status Afi di facebook, begitu kritis sekaligus inspiratif.
(BACA JUGA NOAH Kurangi Job di Ramadhan, Ini Jawabannya )
Bahkan banyak media, baik cetak maupun TV, menemui Afi di rumahnya untuk mengetahui lebih jauh tentang dirinya.
Pada 15 mei lalu, Afi menuliskan sebuah tulisan di status Facebook-nya, dengan judul WARISAN.
Lewat tulisannya itu, Afi mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk menjaga toleransi khususnya di media sosial yang rawan dengan gesekan-gesekan antar penggunanya.
Siswi SMA Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur itu, menyoroti soal identitas, seperti agama, suku, ras, maupun kebangsaan merupakan warisan dari orang tua.
Afi juga mengajak pada seluruh rakyat Indonesa untuk menghayati Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika, agar kehidupan toleransi beragama tetap terjaga.
(BACA JUGA Depan Kakbah dan Masjid Nabawi, D'Masiv Ciptakan Lagu Ini )
Sampai saat ini, status Afi di Facebook yang panjang itu, sudah mendapat Like 35 ribu, dan dibagikan 18816 kali.
Ini dia tulisan lengkap Afi di status Facebook pribadinya, yang menjadi viral karena isinya begitu dalam dan inspiratif.
WARISAN Ditulis oleh Afi Nihaya Faradisa
Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak.
Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir dan di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan.
Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan.
Untungnya, saya belum pernah bersitegang dengan orang-orang yang memiliki warisan berbeda-beda karena saya tahu bahwa mereka juga tidak bisa memilih apa yang akan mereka terima sebagai warisan dari orangtua dan negara.
(BACA JUGA Terbaru, Android O Resmi Meluncur, Ini 5 Keunggulannya dan Ketersediaannya di Pasar )
Setelah beberapa menit kita lahir, lingkungan menentukan agama, ras, suku, dan kebangsaan kita.
Setelah itu, kita membela sampai mati segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri.
Sejak masih bayi saya didoktrin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar.
Saya mengasihani mereka yang bukan muslim, sebab mereka kafir dan matinya masuk neraka.
Ternyata, teman saya yang Kristen juga punya anggapan yang sama terhadap agamanya.
(BACA JUGA Rela Antri Demi The Halal Guys, Enaknya Kaya Apa Sih? )
Mereka mengasihani orang yang tidak mengimani Yesus sebagai Tuhan, karena orang-orang ini akan masuk neraka, begitulah ajaran agama mereka berkata.
Maka, Bayangkan jika kita tak henti menarik satu sama lainnya agar berpindah agama, bayangkan jika masing-masing umat agama tak henti saling beradu superioritas seperti itu, padahal tak akan ada titik temu.
Jalaluddin Rumi mengatakan, "Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu,
memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh."
Salah satu karakteristik umat beragama memang saling mengklaim kebenaran agamanya.
Mereka juga tidak butuh pembuktian, namanya saja "iman".
(BACA JUGA Ingat, 5 Pembersih yang Biasa Dipakai Ini Berbahaya Loh! )
Manusia memang berhak menyampaikan ayat-ayat Tuhan, tapi jangan sesekali mencoba jadi Tuhan.
Usah melabeli orang masuk surga atau neraka sebab kita pun masih menghamba.
Latar belakang dari semua perselisihan adalah karena masing-masing warisan mengklaim, "Golonganku adalah yang terbaik karena Tuhan sendiri yang mengatakannya".
Lantas, pertanyaan saya adalah kalau bukan Tuhan, siapa lagi yang menciptakan para Muslim, Yahudi, Nasrani, Buddha, Hindu, bahkan ateis dan memelihara mereka semua sampai hari ini?
Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan. Jika Dia mau, Dia bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa.
Tapi tidak, kan?
(BACA JUGA 4 Makanan untuk Menurunkan Tekanan Darah Tinggi Secara Alami )
Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat dengan agama yang sama, hal itu akan menjamin kerukunan?
Tidak!
Nyatanya, beberapa negara masih rusuh juga padahal agama rakyatnya sama.
Sebab, jangan heran ketika sentimen mayoritas vs. minoritas masih berkuasa, maka sisi kemanusiaan kita mendadak hilang entah kemana.
Bayangkan juga seandainya masing-masing agama menuntut agar kitab sucinya digunakan sebagai dasar negara. Maka, tinggal tunggu saja kehancuran Indonesia kita.
Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila, Undang-Undang Dasar '45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
(BACA JUGA Jupe Tak Kuasa Lihat Kondisinya, Ini yang Dikirim Damien Perez untuk Menyemangatinya )
Dalam perspektif Pancasila, setiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya, tapi mereka tak berhak memaksakan sudut pandang dan ajaran agamanya untuk ditempatkan sebagai tolok ukur penilaian terhadap pemeluk agama lain.
Hanya karena merasa paling benar, umat agama A tidak berhak mengintervensi kebijakan suatu negara yang terdiri dari bermacam keyakinan.
Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai-berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial.
Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan.
Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir
(BACA JUGA Nasi Gandul Bu Endang, Paling Cocok Buat Menu Makan Siang Ajiib Banget! )
Dalam kolom komentar, Afi menambahkan bahwa:
ini adalah tulisan untuk membenahi landasan berpikir kita, jangan apa-apa dihubungan ke pilkada Jakarta.
Mengutip perkataan John Dewer, "Pikiran itu seperti parasut; hanya berfungsi ketika terbuka."
Tulisan panjang dan kritis dari seorang siswa SMA di Banyuwangi ini dibanjiri komentar netizen yang kagum akan cara berpikirnya.
(BACA JUGA Cara Aman Makan Buah Apel yang Dilapisi Zat Lilin )
Sempat Diblokir Facebook
Tentu saja ada pro dan kontra terhadap tulisannya tersebut.
Bahkan netizen yang kontra berusaha melaporkan akun Afi kepada facebook agar di-suspend.
Facebook sempat mematikan akun facebook Afi selama 24 jam.
Akhirnya banyak netizen yang membelanya, dengan memviralkan hashtag #FACEBOOKbringbackAFI dengan harapan agar akun Afi bisa segera pulih.
Akhirnya, Akun Afi akhirnya dibuka lagi setelah diverifikasi.
(BACA JUGA Kisah Di Balik Disko, Tari India dan Dangdutan di Pernikahan Fairuz )
Ditawari Beasiswa Cerdas
Tulisan Afi ini membuat Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengundang Afi bertemu di ruang kerjanya, Kamis (18/5/2017).
Seperti dilansir tribunnews, di ruang kerjanya, Anas mengajak Afi sarapan bersama.
Anas sempat mengunggah video pertemuannya itu di InstaStory akun Instagram-nya, @azwaranas.a3.
Anas pun kemudian menawarkan kepada Afi untuk mengikuti beasiswa Banyuwangi Cerdas yang bekerjasama dengan beberapa universitas negeri.
(BACA JUGA Chelsea Islan Siap Main Film Religi Pertamanya... Fix, Ini Bocorannya! )
Beasiswa ini membiayai kuliah beserta biaya hidup selama berkuliah.
“Ini apresiasi dari pemerintah daerah kepada pelajarnya yang berprestasi seperti Afi,” cetus Anas. (*)