Grid.ID - Akun jejaring sosial Facebook milik Afi Nihaya Faradisa, siswi SMA di Banyuwangi, Jawa Timur, sempat dibekukan.
Pembekuan oleh Facebook tersebut dilakukan setelah Afi mengunggah tulisan berjudul 'WARISAN' yang sempat viral dan menjadi bahan perbincangan warganet.
Menurut Afi, pembekuan selama 24 jam tersebut dilakukan Facebook lantaran banyaknya orang yang melaporkan tulisan inspiratif.
Akun tersebut tak bisa dibuka setelah ia menulis status terkait keberagaman yang berjudul warisan.
Dalam statusnya, putri pasangan Wahyudi dan Sumarti menulis, jika kewarganegaraan, nama, dan agama adalah warisan.
(BACA JUGA Afi Nihaya, Siswi SMA Banyuwangi yang Bikin Heboh Bicara Keberagaman, Ditawari Beasiswa oleh Bupati Azwar Anas )
Menurut gadis Banyuwangi kelahiran 1998, tulisan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Pilkada Jakarta yang sudah lewat dan hanya sebagai perenungannya.
Afi mempertanyakan sikap orang-orang yang merasa dirugikan dengan tulisannya hingga mereka melaporkan akun Facebook-nya secara bersamaan.
Pelaporan tersebut berimbas pada dilumpuhkannya akun milik Afi selama hampir 24 jam.
Ia mengaku sudah mempersiapkan diri jika sewaktu-waktu akun Facebooknya tidak bisa dibuka karena tidak semua orang bisa menerima pemikirannya.
Dikutip Grid.ID dari Kompas.com, Afi bercerita, ia sempat diminta data asli dan foto oleh pihak Facebook saat akunnya tidak bisa dibuka.
Padahal akun yang dimilikinya bukan akun palsu.
Akun Facebooknya akhirnya kembali bisa diakses pada Kamis sore (18/05/2017).
(BACA JUGA Facebook Buka Ribuan Lowongan untuk Atasi Live Bunuh Diri di Facebook)
Tulisan inspiratif
Tulisan Afi Nihaya di akun Facebook mendadak viral di dunia maya.
Berbeda dari status remaja seusianya, status gadis yang akrab dipanggil Afi tersebut sangat inspiratif serta kritis.
Salah satunya yaitu tentang keputusannya tidak menggunakan gadget selama beberapa hari.
Afi sudah memiliki akun Facebook sejak kelas III SMP.
Namun, ia kembali aktif menulis di Facebook sejak Juli 2016 tentang kritik pada pendidikan di Indonesia.
Inilah tulisan Afi Nihaya yang berjudul Warisan dan diunggah di akun facebook miliknya.
WARISAN, Ditulis oleh Afi Nihaya Faradisa.
Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam.
Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak.
Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir dan di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan.
Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan.
Untungnya, saya belum pernah bersitegang dengan orang-orang yang memiliki warisan berbeda-beda karena saya tahu bahwa mereka juga tidak bisa memilih apa yang akan mereka terima sebagai warisan dari orangtua dan negara.
Setelah beberapa menit kita lahir, lingkungan menentukan agama, ras, suku, dan kebangsaan kita.
Setelah itu, kita membela sampai mati segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri.
Sejak masih bayi saya didoktrin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar.
Saya mengasihani mereka yang bukan muslim, sebab mereka kafir dan matinya masuk neraka.
Ternyata, Teman saya yang Kristen juga punya anggapan yang sama terhadap agamanya.
Mereka mengasihani orang yang tidak mengimani Yesus sebagai Tuhan, karena orang-orang ini akan masuk neraka, begitulah ajaran agama mereka berkata.
Maka, Bayangkan jika kita tak henti menarik satu sama lainnya agar berpindah agama, bayangkan jika masing-masing umat agama tak henti saling beradu superioritas seperti itu, padahal tak akan ada titik temu.
Jalaluddin Rumi mengatakan, "Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu, memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh."
Salah satu karakteristik umat beragama memang saling mengklaim kebenaran agamanya.
Mereka juga tidak butuh pembuktian, namanya saja "iman".
Manusia memang berhak menyampaikan ayat-ayat Tuhan, tapi jangan sesekali mencoba jadi Tuhan.
Usah melabeli orang masuk surga atau neraka sebab kita pun masih menghamba.
Latar belakang dari semua perselisihan adalah karena masing-masing warisan mengklaim, "Golonganku adalah yang terbaik karena Tuhan sendiri yang mengatakannya".
Lantas, pertanyaan saya adalah kalau bukan Tuhan, siapa lagi yang menciptakan para Muslim, Yahudi, Nasrani, Buddha, Hindu, bahkan ateis dan memelihara mereka semua sampai hari ini?
Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan. Jika Dia mau, Dia bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa. Tapi tidak, kan? Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat dengan agama yang sama, hal itu akan menjamin kerukunan? Tidak!
Nyatanya, beberapa negara masih rusuh juga padahal agama rakyatnya sama. Sebab, jangan heran ketika sentimen mayoritas vs minoritas masih berkuasa, maka sisi kemanusiaan kita mendadak hilang entah kemana.
Bayangkan juga seandainya masing-masing agama menuntut agar kitab sucinya digunakan sebagai dasar negara. Maka, tinggal tunggu saja kehancuran Indonesia kita.
Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila, Undang-Undang Dasar '45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam perspektif Pancasila, setiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya, tapi mereka tak berhak memaksakan sudut pandang dan ajaran agamanya untuk ditempatkan sebagai tolok ukur penilaian terhadap pemeluk agama lain.
Hanya karena merasa paling benar, umat agama A tidak berhak mengintervensi kebijakan suatu negara yang terdiri dari bermacam keyakinan.
Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai-berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial.
Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan.
Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir. (*)