Tikus putih jantan yang digunakan untuk penelitian telah direkayasa gennya, sehingga tidak mampu memproduksi serotonin dengan menonaktifkan gen yang berperan dalam produksi senyawa tersebut.
Hasilnya, tikus putih tanpa serotonin ternyata cenderung menyukai tikus putih sesama jenis. Unik, deh! Tikus putih tersebut mendendangkan lagu cinta dalam frekuensi ultrasonik yang biasanya didendangkan ketika ingin mengawini betina.
Bukti lainnya juga ditunjukkan oleh 60 persen pejantan tanpa serotonin yang menghabiskan waktunya untuk mencumbui dan membaui genital sesama jenisnya.
Yang mencengangkan, ketika Rao menginjeksikan lagi senyawa serotonin, para tikus cenderung tertarik pada lawan jenisnya.
Tertantang ingin tahu lebih jelas lagi efek serotonin, Rao menyuntikkan serotonin lebih banyak lagi dosisnya.
Hasilnya tak disangak, tikus-tikus putih berjenis kelamin jantan itu justru jadi tertarik pada tikus-tikus yang berjensi kelamin jantan maupun betina.
Menurut peneliti tersebut, hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi serotonin dalam tubuh tikus putih menentukan orientasi seksualnya.
Pertanyaannya, apakah hal yang sama menjadi sebab homoseksualitas pada manusia?
Menurut Elaine Hull, pakar rodensia Florida State University yang tak terlibat penelitian, "Hal yang sama mungkin juga memengaruhi homoseksualitas atau biseksualitas pada manusia,” ujarnya.
Namun, Elaine dan co-author penelitian Zhou Feng Chen mengingatkan agar kesimpulan penelitian ini tak ditanggapi berlebihan.
Hasil penelitian ini tak serta-merta menjelaskan sebab homoseksualitas pada manusia.
Sejauh ini, beberapa ilmuwan meyakini bahwa homoseksual adalah sesuatu yang telah terberi, bukan sebuah penyakit. (*)
Sumber :
http://sains.kompas.com/read/2011/03/28/10444583/Jadi.Gay.karena.Kurang.Serotonin