Find Us On Social Media :

Ziarah Kebangsaan Toniel Kelimutu 1938, Menggugah Roh Persatuan dalam Keindonesiaan

By Hery Prasetyo, Sabtu, 3 Juni 2017 | 22:53 WIB

Toniel Kelimutu 1938 saat mengarungi selat.

Grid.ID - Indonesia itu bukan sekadar dari Sabang sampai Merauke.

Indonesia itu juga berbagai suku, bahasa, warna, agama, dan budaya tapi tetap satu jua.

Bahwa Indonesia yang berbeda-beda itu sudah lama satu saudara, menjadi salah satu roh bangsa ini.

Roh yang kemudian menyublim lewat pergolakan batin dan perjuangan berdarah-darah hingga akhirnya menjadi bentuk sebuah negara-bangsa Indonesia yang makin dikukuhkan oleh proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Namun, gagasan Indonesia juga tak muncul begitu saja.

Para pejuang dan pemikir bangsa ini mencoba menggali dan merangkumkan pemahaman.

Maka, muncullah gerakan Kebangkitan Nasional sejak 20 Mei 1908, Sumpah Pemuda 1928, hingga kemerdekaan RI 1945.

Digagas oleh budayawan Taufik Rahzen, maka 9 seniman Banten dan Jakarta mengadakan "Ziarah Gagasan Indonesia".

Mereka adalah Edi Bonetski (pemusik, perupa, performance artist), Jack Al-Ghazaly (teaterawan), Surya Dibaca (seniman pantomim), Endin SAS (teaterawan/penyair), Lintang Putri (penyair), Laila Putri (penari/performance artist), Irfan Shidiqi (violist), Abdul Rivai (seniman), Aka Sanjaya (fotografer/videomaker), Okta (fotografer/videomaker), dan Reza (dokumentasi).

Mereka sengaja menamakan Toniel Kelimutu 1938, seperti halnya tonil yang dibentuk Presiden RI I Ir Soekarno saat dalam masa pembuangan di Ende.

Tonil itu dibentuk Soekarno dan sering ditampilkan untuk menggugah roh kebangsaan dan persatuan Indonesia.

Maka, Toniel Kelimutu 1938 ini menggelar "Perziarahan Gagasan Indonesia".

"Ini saat yang tepat untuk menggugah dan mengingatkan, serta menziarahi gagasan Indonesia. Selain bertepatan dengan peringatan Kebangkitan Nasional, ada gejala di masyarakat yang melupakan ke-Indonesiaan kita," kata Edi Bonetski.

Dalam perjalanan "Ziarah gagasan Indonesia" itu, mereka sering menggelar performance art dan pertunjukan lain.

Mereka juga selalu membawa patung garuda untuk mengingatkan Garuda sebagai lambang negara yang memiliki banyak makna kebangsaan dan kenegaraan.

"Kami memulai perjalanan kebangsaan ini pada 20 Mei 2017 dari Gedung STOVIA, Museum Kebangkitan Nasional dengan mengikuti upacara 109 tahun Kebangkitan Nasional," jelas Edi.

Rangkaiannya juga dilanjutkan dengan pementasan Wayang Golek dari Sumedang dengan Judul Pramita Pertiwi, dengan dalang Ki Asep Sunandar.

Peziarahan Gagasan Indonesia adalah perjalanan 2500 kilometer, melewati kota, kabupaten, selat, pulau dari Jakarta menuju Ende, Nusa Tenggara Timur.

Ende menyimpan sejarah kebangsaan, karena pada 1935-1938 Presiden Soekarno diasingkan imperialis selama 7 tahun di pulau itu.

Namun, masa pengasingan itu justru membuat Bung Karno mampu menggali kebangsaan dan Pancasila lebih dalam.

Di rumah pengasingan Ende, Bung Karno melakukan interaksi permenungan kebangsaan hingga terciptalah lambang Negara burung Garuda dan Pancasila.

Tak jauh dari rumah pengasingan, Bung Karno membentuk grup Toniel Kelimutu pada tahun 1938.

Maka, Ziarah Gagasan Indonesia itu pun berakhir di Ende dengan melakukan pertunjukan dan dialog budaya, juga dialog kebangsaan. (*)