Laporan wartawan Grid.ID, Ristiani Theresa
Grid.ID - Kampung Laweyan di Solo, Jawa Tengah identik dengan batik.
Sejarah menunjukkan kemasyhuran Laweyan sebagai kampungnya juragan batik sudah dimulai sejak awal abad ke-20.
Sampai dengan tahun 1960-an, sekitar 90 persen penduduk di kampung ini adalah pengusaha batik dan sisanya para karyawan yang mengerjakan pembuatan batik.
Bisnis batik di Laweyan pernah mengalami pasang surut.
Ternyata di balik kesuksesan kampung tersebut, saat ini banyak sekali sejarah yang tertinggal.
Hal ini dikatakan oleh Titik Harjo Susanto, anak mantan juragan Batik Pulo Djawa yang ditemui oleh wartawan Grid.ID, Ristiani Theresa.
Titik Harjo Susanto menceritakan kehidupannya yang jauh dari kata susah saat kedua orang tuanya masih aktif menggeluti dunia batik tulis di Kampung Laweyan.
Bapak Ibunya adalah salah satu juragan batik yang paling memiliki derajat tertinggi di kampung Laweyan.
Ibunya, Daryati mendapat julukan Mbok Mase dan bapaknya yang bernama Slamet Harjo Susanto mendapat julukan Mas Nganten.
Titik Harjo Susanto yang dulu juga sempat mendapat julukan Mas Titik, memiliki 4 saudara kandung dan 2 saudara tiri.
Dalam keluarganya, anak perempuan juragan batik Laweyan dilatih untuk bisa meneruskan hal-hal yang berhubungan dengan produksi batik tulis di rumahnya.
“Waktu jaman bapak ibu masih jadi juragan, anak-anaknya tidak sekolah tidak masalah. Yang penting bisa nerusin usaha keluarganya,” ujar Titik Harjo Susanto.
Namun cerita itu hal itu sepertinya hanya tinggal kenangan.
Baca : Miris, Inilah Pengakuan Ibunda Dokter Ryan Thamrin, Mengungkap Penyebab Kematian Putranya
Maraknya pabrik kain cetak atau printing bermotif batik dengan harga jual jauh lebih murah membuat bisnis batik Laweyan goyang.
“Semenjak ada pabrik kain cetak printing di solo itu, pabrik punya bapak langsung menurun produksinya,” ujar Titik Harjo Susanto.
“Semua karyawan keluar, pabrik, dan beberapa rumah bapak dijual. Sisanya ya cuma rumah ini,” ujarnya.
Titik Harjo Susanto yang berusia 51 itu ingin sekali membangkitkan usaha bapaknya tetapi belum memiliki modal yang cukup.
Titik Harjo Susanto mengatakan, “Pengen mbak membangun lagi, mengikuti perkembangan batik yang sudah modern ini. Tapi ya itu, modal darimana?”
Seperti yang disampaikannya, modal untuk bangkit kembali seperti masa kejayaan merupakan hal yang utama. (*)