Grid.ID - Bersikap toleran dan menghormati sesama telah jadi sebuah kelumrahan bila menginginkan keharmonisan.
Hal ini lebih bermakna dalam dan penting bila itu diterapkan dalam bermasyarakat.
Meski punya perbedaan dalam budaya, latar belakang, dan mungkin agama, bukan berarti dilarang untuk saling menghargai.
Lebih dari itu, justru kita dianjurkan agar lebih saling memupuk semangat persaudaraan.
Kisah berikut ini bisa jadi pelajaran bagus untuk merenungkan kembali makna tersebut.
Seorang gadis, punya nama, malu besar kepada temannya yang datang untuk berlibur ke tempatnya.
Sebenarnya ini hanya kasus sepele.
Bercerita tentang niat untuk menukarkan celana yang memiliki beberapa kecacatan.
(Baca juga: Pria Lumpuh Punya Ide Gila, Awalnya Ditertawakan dan Diejek, Tapi Kini Dihormati Karena Hal Ini)
Akan tetapi, respon dari penjual justru ngawur sekali.
Sangat sulit memahami logika si pedagang.
Entah ini hanya sekedar alasan atau memang ada semacam sentimen khusus dalam kasus ini.
Untuk lebih jelasnya, mari simak kisahnya yang berikut ini:
(Baca juga: Usianya Baru Segini, Tapi Sudah Lakukan Hal Mirip Mia Khalifa, Begini Akibatnya)
Islam bukanlah tiket untuk menghina orang non-muslim.
Berikut ini adalah kisah nyata.
Kisahnya dari pengalamanku sendiri, 12 Agustus 2017.
Jika ada yang mengikuti FB punyaku, aku punya teman yang datang dari Korea untuk jalan-jalan di Malaysia.
(Baca juga: Lama Tak Muncul di Layar Kaca, Artis Ini Nikah Beda Agama, Sekarang Begini Kondisinya)
Dengan waktu yang tersedia, aku bisa membawanya berkeliling KL dan Malaka.
Saat di Malaka, ada cerita seperti ini.
Awalnya kami pergi ke Hero Walk untuk berbelanja.
Saat itu temanku tertarik dengan sebuah celana panjang jenis batik.
(Baca juga: Ternyata Ini Alasan Kenapa Setiap Orang Pernah Melakukan Masturbasi)
Jadi, kami pergi dari satu toko ke toko yang lain.
Ini terjadi pada 11 Agustus.
Saat membeli, temanku mencoba beberapa.
Saat di Malaka, ia membeli 5 potong.
Dibelinya di toko yang berbeda.
Jadi, saat di toko terakhir, ternyata susah untuk dicoba.
Jadi, akhirnya cuma pilih pola dan lalu dibayar.
Saat malam menjelang, dia coba memakai celana yang barusan dibelinya.
Semuanya dicoba satu persatu.
Sayang, ternyata celana yang paling akhir dibeli punya jahitan yang cacat.
Jahitan di bagian kantong celana saling tumpang tindih.
Jadi, ada masalah saat akan dipakai.
Lalu cerita berlanjut pada 12 Agustus.
Sebelum makan siang, kami pergi ke toko sebelumnya untuk minta tukar.
Si penjual kupanggil bibi karena umurnya sekitar 40-an.
Saat bibi itu kupanggil, ia ternyata buang muka.
Aku sabar saja meskia dia sudah mengabaikanku.
Setelah itu, temanku kembali memilih celana lain.
Kami memeriksa, ternyata model jahitannya sama dengan punya temanku, meski cuma sedikit.
Lalu kubilang ke bibi penjual, temanku ingin coba.
Kaget, ternyata dia tak membolehkan untuk dicoba.
Dia bilang di sini semua barang tak boleh dicoba.
Oke, aku bilang ke temanku bahwa sebaiknya dia piliha yang lain, karena tak diperbolehkan untuk mencoba.
Namun, kemudian datang sebuah keluarga yang ingin beli pakaian untuk anaknya.
Gilanya, ternyata mereka diperbolehkan untuk mencoba pakaian tersebut.
Aku geram, kenapa mereka boleh mencoba dan temanku gak boleh nyobain?
Apakah si bibi sudah lupa dengan yang dikatakannya kepada kami?
Lalu si bibi dengan ngawur ngomong begini, " Kami tak tahu keringat dia seperti apa dan apa yang dimakannya."
"Orang tak akan mau beli pakaian di sini kalau barangnya sudah dicoba sama orang macam temanmu ini."
"Celana yang kamu bawa untuk ditukar sudah gak bisa lagi buat dijual karena pernah dicobak."
Loh, aku masih gak paham apa yang dimaksud.
Terus kubilang, "Lah, ada apa?"
"Lagian celananya udah barang gak layak dijual."
"Kenapa kok masih dijual aja?"
Harusnya dulu diperbolehkan untuk dicoba dulu.
Supaya nanti kalo emang gak cocok gak perlu repot-repot ditukar ulang.
Terus si bibi jawab dengan nada tinggi seperti ini, "Kamu nih gak paham ya!"
"Dia gak boleh nyoba!"
"Dia ini orang asing, bukan muslim."
"Lihat kulitnya!"
"Kulitnya tak seperti kita."
"Kita tak tahu apa yang pernah dimakan dan diminumnya!"
Aku terkejut.
Gak tahu gimana cara ngungkapin perasaanku saat itu.
"Wat de hell lah, bibi!"
Gimana kamu bisa mikir kek gitu?
"Hadis mana yang kamu baca?"
"Mazhab mana yang kamu ikutin woi?"
Sialan bener!
Terus aku bilang, "Aku kesel sama orang macam bibi yang membedakan orang dalam hal agama."
"Kalau memang seperti ini, kurasa lebih baik bila bibi kembalikan uang temanku kembali."
"Sebab, kita juga tak tahu dari mana duitnya berasal!"
"Halal atau sebaliknya, memang bibi tahu?"
Terus dia jawab, "Untuk uang tidak bisa!"
"Kalu tukar barang masih boleh, pilih aja yang lain."
Terus aku bales gini, "Karena duitnya itulah maka kuminta buat dikembalikan saja!"
"Itu gak banyak kali!"
"Aku takut kalau duit ini haram."
"Kita gak tahu kan, uangnya berasal dari mana."
Bibi ini emang gak bener lah.
Uang gak dikembalikan, celana gak boleh dicoba.
Terus dia jawab gini, "Oke, okelah, silahkan coba tapi harus diambil ya."
Lalu kutimpali dengan senyum sinis, "Mudah bener cara bibi berjualan."
Kemudian kusuruh teman untuk memakainya.
Kali ini celana yang dikenakannya tetap dipakai.
Jadi, saat dicoba, kulitnya tak bersentuhan secara langsung dengan celana yang dicobanya.
Akhirnya, celana itu jadi ditukar dengan yang lain, dan kemudian kutarik tangan temanku agar segera pergi.
Aku merasa jengkel dengan orang seperti itu.
Hatiku hancur.
Ternyata, sebelumnya toko dan muka sakral yang jualan lupa kufoto.
Aku geram karena lupa melakukan hal itu.
Awalnya aku tak berbagi cerita ini ke teman.
Tapi, dirinya mendesak dan terus bertanya apa yang kukatakan.
Sebab, dia melihat ekspresi wajahku yang kelihatannya serius.
Aku saat itu tetap diam.
Saat kami berjalan hingga restoran, dia tetap mendesak agar aku bercerita.
Di mulai frustasi denganku, dan akhirnya aku menyerah juga.
Lalu kubagikan tentang kejadian tadi bahwa dia gak boleh nyoba celana karena non-muslim.
Cerita yang lain gak kuceritain.
Sontak dia langsung berubah sikap.
Katanya, jika sebelumnya dia tahu, dia akan segera menjauh dari celana-celana tersebut dang segera menunjukkan jari tengah kepada si pedagang.
Aku gak bisa bayangin gimana bila tahu semua kisahnya.
Setelah makan, aku minta maaf atas prilaku bibi tersebut dan perbuatanku yang tak memberitahunya.
Kuharap barang ini tak merusak gairahnya di hari ini, meski gairahku sendiri sebenarnya sudah sampai ke laut.
Kuharap, kejadian ini tak terjadi dengan orang non-muslim lainnya.
Malaysia itu terdiri dari bermacam agama dan bangsa.
Ayolah kawan, kita hidup di tahun 2017.(*)