Grid.ID - Walaupun hanya sebagai warga pendatang dan bukan asli keturunan pribumi, bukan berarti orang-orang tersebut tidak mencintai Indonesia.
Malah sebaliknya mereka bahkan berani mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan utuh dan berdaulat republik Indonesia.
Dilansir reporter Grid.ID dari Kompas.com, John Lie dengan nama aslinya Jahja Daniel Dharma mendapat julukan "Hantu Selat Malaka" karena keberaniannya.
John Lie merupakan satu-satunya milisi Indonesia berdarah Tionghoa yang menerima gelar pahlawan nasional.
( Baca : Sudah Ditalak Caisar dan Iklas, Indadari Menjawab Soal Uang Haram Begini Katanya... )
Selain itu ia juga meraih pangkat sebagai Laksamana Muda TNI AL.
Sebelum memulai perjuangannya mengusir penjajah John Lie bekerja di maskapai pelayaran KPM (Koninlijk Paketvaart Maatschapij) milik Hindia Belanda.
Waktu itu bulan Februari 1946, John Lie dan kawan-kawannya baru bisa pulang ke Indonesia setelah kekalahan Jepang dalam teater perang pasifik melawan sekutu.
Lie tidak langsung pulang ke tanah air, waktu itu ia singgah dulu ke Singapura selama 10 hari dan saat disana ia melihat dan mempelajari saat Royal Navy (angkatan laut Inggris) membersihkan ranjau laut yang ditanam oleh Kaigun/angkatan laut Jepang.
( Baca : Hindari Makanan Ini Saat Menstruasi, Bisa Bikin Tambah Sakit Loh )
Setelah singgah selama 10 hari di Singapura, Lie dan kawan-kawan segera menuju ke Jakarta ia tidak sabar untuk segera bergabung dengan laskar pejuang Indonesia.
Namun niatnya itu tidak langsung terlaksana lantaran ia belum punya uang untuk pergi ke Ibukota Indonesia yang waktu itu berada di Yogyakarta.
Mei 1946 Lie muda akhirnya menemui Hans Pandelaki dan Mohede, keduanya adalah pimpinan Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia (KRIS) di jalan Cilacap, Menteng untuk menjadi anggota KRIS Barisan Laut.
Kemudian John Lie diberi surat pengantar oleh keduanya untuk berjumpa dengan AA Maramis.
( Baca : Mau Tahu Kamu Kegemukan atau Terlalu Kurus? Cek sendiri Pakai Cara Ini Loh )
Sesampainya ia bertemu dengan Maramis jalan John Lie untuk menjadi bagian dari angkatan perang Indonesia terbuka ia diberikan referensi untuk bergabung dengan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) saat itu yang menjabat Kepala Staf Angkatan Laut ialah Laksamana M Pardi di Yogyakarta.
Setelah bertemu Laksamana M Pardi di Yogyakarta ia menceritakan pengalamannya ketika menjadi awak di maskapai pelayaran KPM (Koninlijk Paketvaart Maatschapij) dan bermaksud bergabung dengan ALRI.
Ketika ditanya oleh M Pardi "John Lie maunya pangkat apa? Karena pengalaman saudara banyak,".
John Lie menjawab, "Saya datang bukan untuk cari pangkat. Saya datang ke sini mau berjuang di medan laut. Karena hanya inilah yang saya miliki, yaitu pengalaman dan pengetahuan kelautan yang sekadarnya."
Akhirnya Pardi mengizinkan John Lie bergabung dengan ALRI ia diberi pangkat sebagai kelasi kelas III, memang pangkat yang rendah akan tetapi ia punya pengalaman saat bekerja di KPM dulu maka sering ada perwira ALRI yang bertanya soal kelautan kepada John Lie.
Pada September 1947, Kementrian Pertahanan membeli sejumlah kapal cepat, pihak ALRI kemudian mencari awak untuk mengoperasikannya.
Tugas dari awak kapal cepat itu ialah mengirim dan memasok persenjataan untuk angkatan perang Indonesia.
John Lie terpilih untuk mengawaki kapal cepat tersebut yang dinamai "The Outlaw".
Tanpa disadari olehnya ia sebenarnya menjadi penyelundup senjata bagi perjuangan republik Indonesia, dengan kapal cepatnya ia melayari rute Singapura-Labuan Bilik dan Port Swettenham.
Oktober 1947, di kapal cepatnya The Outlaw memuat perlengkapan militer untuk perjuangan pasukan Indonesia, didalamnya terdapat senjata serbu, ribuan butir prluru dan perbekalan militer lainnya dari sebuah pulau di selat Johor ke Sumatera.
Hampir kepergok pesawat Belanda saat sampai ke Labuan Bilik tampak pesawat itu terbang rendah dan meminta kapal Lie untuk segera pergi dari pelabuhan.
Dengan nekat John Lie berbohong dengan mengatakan kapalnya kandas dan tidak bisa bergerak kemana-mana.
Padahal pesawat Belanda tersebut sudah siap sedia mengarahkan moncong senapannya ke arah The Outlaw tinggal tarik pelatuk selesai sudah riwayat John Lie dan kapalnya.
Namun pesawat Belanda tersebut urung menembak dan pergi, seketika itu juga Lie masuk kabin kapal dan berlutut mengucap syukur kepada Tuhan.
Diketahui kenapa pesawat Belanda tersebut pergi lantaran hampir kehabisan bahan bakar dan memutuskan untuk balik kandang.
Misi pertama itu pun sukses dan senjata yang dibawa oleh kapalnya itu segera diserahterimakan oleh Bupati Usman Effendi serta komandan pejuang setempat, Abu Salam.
Keberhasilan John Lie menyelundupkan senjata untuk perjuangan bangsa ini terus menerus mendulang kesuksessan, daerah pelayarannya pun dari Singapura sampai Thailand.
Hingga radio BBC milik Inggris menjuluki kapal The Outlaw sebagai "The Black Speedboat".
John Lie dikenal memiliki koneksi yang baik dengan orang-orang pelabuhan Singapura, Thailand hingga Afrika.
Maka tidaklah mengherankan bahwa operasinya selalu sukses karena koneksi yang baik antara John Lie dan kenalan-kenalannya itu.
Pernah suatu ketika The Outlaw hampir hancur saat kepergok kapal perang Belanda, dengan membabi buta kapal perang Belanda itu menyerang The Outlaw.
Tinggal menuju ajal namun keajaiban terjadi sekali lagi tiba-tiba kapal Belanda tersebut kandas di karang dan tak bisa bergerak, The Outlaw segera kabur bersembunyi di Delta Tamiang.
Kejadian itu berlangsung saat kapal Lie selesai melakukan Docking di Penang.
Lolos dari bahaya itu kini giliran peswat udara Belanda menyekat, namun pesawat itu hanya berputar-putar di atas delta tamiang, mereka tidak melihat kapal John Lie yang bersembunyi di situ.
John Lie sampai berkata "Roh Kudus membungkus kami".
Gara-gara kejadian itu baling-baling kapal Lie copot satu buah mau tidak mau ia harus kembali ke Penang untuk melaksanakan perbaikan.
Setelah melakukan perbaikan The Outlaw kembali melakukan pelayarannya, disaat malam-malam memasuki selat Malaka ia bertemu dengan kapal tanker Belanda.
Benar saja kapten kapal tanker tersebut menghubungi unit patroli militer Belanda, tak selang berapa lama kemudian tibalah kapal patroli Belanda menyergap The Outlaw.
Tembakan meriam laut dari kapal Belanda itu begitu gencar hingga The Outlaw tak berkutik, hanya pasrah dan berdoa yang bisa dilakukan awak kapal John Lie.
Tiba-tiba keajaiban datang lagi cuaca disekitar menjadi memburuk kabut menyelimuti permukaan laut dan hujan turun dengan sangat deras.
Gelombang laut tiba-tiba membesar dan kapal Belanda tidak sanggup mengejar kapal The Outlaw karena memang kapal itu memiliki kecepatan yang tinggi dan karena cuaca buruk itu.
Pelayaran mencekam itu dari Phuket-Aceh itu hingga terpantau radio BBC, radio itu menyiarkan bahwa dengan segala pengalamannya The Outlaw lolos dari sergapan itu.
Sebelum meninggal sempat John Lie diwawancarai untuk menceritakan bagaimana situasi perjuangan saat itu.
"Tahun 1946-1947 itu kita harus bertindak sendiri. Sebab saya punya semangat untuk bekerja bagi negara, nusa dan bangsa. Apa saja saya hadapi. Membantu Republik pada waktu itu mencari devisa," tutur John Lie.
"Sebab kita banyak orang yang bantu negeri mencari devisa supaya jangan kita dipukul oleh kaum-kaum neokolonialisme. Sebab kita tidak ada dana. Itu tindakan yang baik sekali, dapat dana yang banyak,” ujarnya.
Saat wafat 27 Agustus 1988, anak asuh, pengemis, anak jalanan dan gelandangan memenuhi kediamannya di Menteng, Jakarta Pusat. Seorang Tionghoa yang selama ini menyantuninya telah pergi untuk selama-lamanya.
Namanya pun kini diabadikan untuk mengenang jasanya dengan menamai salah satu kapal perang Republik Indonesia, KRI John Lie.
(*)
artikel ini pernah ditulis oleh kompas.com dengan judul Kisah John Lie, "Hantu Selat Malaka", Pahlawan Penyelundup Senjata.