Sumber air juga berasal dari sumur terdekat.
Baru-baru ini mereka juga punya generator baru untuk sumber tenaga listrik.
Sebuah kandang dibangun di samping gubuk mereka sehingga telur dijamin masih segar.
"Meski tidak ada nyamuk di malam hari, kita masih harus hati-hati dengan babi hutan dan ular," kata ibu hamil berusia 23 tahun itu kepada wartawan.
Bagi Ridzuan, dia merasa nyaman tinggal di sana dan tidak memiliki rencana untuk pindah.
"Pondok ini dibangun di atas tanah kakek saya. Saya memilih tinggal di sini karena saya bisa dengan mudah mulai bekerja, "katanya.
Ridzuan bekerja sebagai penyadap karet dan mengumpulkan biji petai untuk dijual.
Dalam sebulan ia mampu menghasilkan Rp 1,9 juta- Rp 2,2 juta.
Meski demikian, pondok itu tidak punya fondasi yang kokoh.
Ketika terjadi hujan, keluarga ini mencari perlindungan di lantai tertinggi.
Keputusan ini juga menarik perhatian pemerintah setempat.
Mereka sempat ditawari sebuah rumah projek pemerintah namun menolak karena tidak sanggup membayar.
Pemerintah mengingatkan bahwa ketika hidup di hutan mereka juga harus memikirkan tentang pendidikan anak mereka kelak.
(*)