Perempuan yang menjadi pengayah di Pura Besakih sejak tahun 1971 tersebut bercerita, saat Gunung Agung meletus dia berusia 21 tahun.
Dia melihat langsung hujan batu di tempat tinggalnya.
Bahkan saat mengungsi, dia dan keluarganya harus melindungi kepala mereka dengan menggunakan alat rumah tangga.
"Ada batu yang sebesar kepala bayi. Dari jauh juga terlihat percikan api. Jika tidak dilindungi kepala bisa luka. Kami berjalan kaki saat mengungsi. Sudah tidak tahu apakah sudah malam atau masih siang. Jalan saja terus. Selama beberapa hari gelap gulita," jelasnya.
Jero Mangku Suwenten dan keluarga kembali ke rumahnya setelah suasana aman.
Selama tujuh keturunan, keluarganya menjadi pengayah di Pura Besakih yang berada di radius 6 kilometer dari puncak Gunung Agung.
Pengayah bertugas untuk mempersiapkan jika ada masyarakat yang bersembayang di Pura Besakih.
"Rumah saya di sana. Lihat kan ada rumah-rumah di lereng Gunung Agung. Itu di sana," katanya sambil menujuk arah Gunung Agung.
Saat status Gunung Agung meningkat, dia dijemput oleh keluarganya untuk tinggal di rumah anaknya yang berjarak 12 kilometer dari puncak Gunung Agung.
Ketika cuaca cerah dan Gunung Agung terlihat jelas seperti pada Jumat (29/9/2017), ia mengajak anak dan cucunya ke pos pemantau dan menceritakan peristiwa yang ia alami pada tahun 1963 lalu.
"Sekarang hanya perlu menunggu dengan sabar. Dulu banyak korban karena tidak ada teknologi seperti sekarang. Tiba-tiba meletus saja. Ada pertanda tapi kita tidak menyadari. Saya bilang ke keluarga dan kerabat ikuti kata petugas. Jangan dilanggar mereka yang lebih tahu ilmunya," kata perempuan yang masih terlihat sehat di usianya yang sudah senja.
Dia juga menyakini jika Gunung Agung akan memberikan kebaikan untuk masyarakat Bali.
"Sekarang kita kasih kesempatan kepada Gunung Agung untuk sendiri. Saya meyakini Ida Sanghyang Widhi Wasa akan melindungi semuanya," pungkasnya. (*Kompas.com/ Ira Rachmawati)