Hubungan keluarga hancur karena tak sedikit pelaku kejahatan seksual merupakan orang-orang terdekat, dan sebagainya.
Jangan lupakan juga aspek fisik. Korban kekerasan seksual sering kali diikuti oleh penganiayaan fisik.
Karena itu, korban kekerasan seksual memerlukan bimbingan atau konseling untuk pemulihan pasca trauma dari semua aspek.
Hal ini sebenarnya sudah diatur dengan jelas dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Di RUU PKS, mulai pasal 27 sampai 32 tentang hak atas pemulihan menyebutkan, hak atas restitusi korban kekerasan seksual adalah pemulihan pada aspek fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya.
Dan pemulihan itu diatur dalam Pasal 46 RUU PKS tentang restitusi bagi korban yang meliputi:
a. keuangan sebagai ganti kerugian materiil dan immaterial,b. layanan pemulihan yang dibutuhkan korban dan/atau keluarga korban,c. permintaan maaf kepada korban dan/atau keluarga korban, dand. pemulihan nama baik korban dan/atau keluarga korban.
Bahkan bila pelaku tidak mampu secara finansial, maka beban hak restitusi dibebankan pihak lain seperti: perusahaan tempat pelaku bekerja, pemerintah daerah, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Baca Juga : Jangan Sembarangan Ganti Pasangan, Rentan Kena Penyakit Seksual Seperti Chlamydia
Sayangnya, RUU ini hingga kini masih belum jelas rimbanya karena tak kunjung disahkan menjadi Undang-Undang. Keberadaannya masih mandeg di DPR.
Padahal kalau sudah sah menjadi UU, korban kekerasan atau kejahatan seksual bisa mendapat hak restitusi yang lebih jelas.
Sebab yang dibutuhkan korban bukan hanya pelaku yang harus dganjar hukuman setimpal.
Lebih dari itu, korban harus dipulihkan dengan pemberian ganti rugi, baik secara immaterial maupun material.
Itulah sebabnya Teman Rakyat mendesak pengesahan RUU PKS.
Yuk, teman dukung juga pengesahan RUU PKS untuk Indonesia yang lebih baik dengan menuliskan opinimu di sini.
(*)