Grid.ID - Indonesia darurat kekerasan seksual.
Laporan Komisi Nasional Perempuan menemukan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak meningkat.
Dari periode 2016 hingga 2017, kekerasan seksual meningkat 25 persen. Dari 259.150 kasus pada 2016 menjadi 348.446 kasus tahun berikutnya.
Itu dari sisi kuantitatif. Dari sisi kualitatif bisa dikatakan tak kalah parah.
Apa pasal? Karena keadilan bagi korban ternyata begitu sulit ditegakkan.
Tentu masih segar dalam ingatan, kasus Baiq Nuril yang justru dipidana karena melaporkan terduga pelaku yang melecehkannya.
Juga kisah Agni, mahasiswi yang diperkosa teman KKN-nya, untuk mengemis keadilan ke pihak kampus di mana ia berkuliah.
Kenapa sengkarut dan benang kusut ini terjadi?
Jawabannya pasti: belum ada payung hukum yang jelas untuk melindungi para korban.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), yang didesain melindungi korban kekerasan/kejahatan seksual masih mandeg di DPR.
Entah bagaimana nasibnya kini. Padahal RUU tersebut sudah jadi Program Legislasi Nasional Prioritas sejak 2016.
Di sinilah sumber masalah sebenarnya menganga.
Sebagai produk legislasi, bisa dikatakan RUU ini pengesahannya bergantung ke anggota-anggota DPR yang berasal dari partai politik.
Hal tersebut seakan menegaskan pula bahwa isu-isu perempuan bukanlah prioritas bagi parpol-parpol di Indonesia.
Di tataran eksternal pun setali tiga uang.
Kampanye-kampanye partai politik jelang Pemilu Legislatif 2019, nyaris sepi dari isu-isu perempuan.
Partai-partai masih ‘terjebak’ pada isu-isu tentang ekonomi, ketimpangan sosial, dan perlawanan terhadap dominasi asing, dalam setiap retorikanya.
Sejauh pengamatan Teman Rakyat, hanya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang cukup konsisten menyuarakan isu-isu perempuan.
Ini salah satunya terlihat dari pendampingan PSI kepada Rizky Amelia, korban pekosaan oleh atasannya sendiri.
Tidak hanya itu, karena RA dipecat dari tempat kerjanya, PSI pun menawarkan yang bersangkutan bekerja di kantornya.
Dalam konteks yang sama, PSI pun sangat vokal mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang telah dibahas di atas.
Melalui juru bicaranya, Dara Andini Nasution, PSI berkeyakinan bahwa kasus Rizky, juga Baiq Nuril dan Agni, terjadi akibat belum adanya payung hukum yang jelas, sehingga mempengaruhi stigma terhadap perempuan di mana mereka selalu ditempatkan dalam posisi yang lemah
“Dan kepada DPR yang terhormat sekarang terutama Komisi VIII harus segera mengesahkan UU ini sebelum pemilu, kalau nggak kita patut menanyakan komitmen, dan kami di PSI berjanji UU ini akan menjadi prioritas kami ketika kami terpilih di parlemen,” ujarnya kepada Detik.com, baru-baru ini.
Sebagai partai baru yang banyak diisi politisi muda dan belum punya perwakilan di parlemen, keberanian PSI patut diacungi jempol. Mereka tak ragu mengkritik ketidakadilan terhadap perempuan yang selama ini terkesan dibiarkan oleh partai-partai lain.
Menarik jadinya, menunggu kiprah dan gebrakan apa yang bakal mereka tawarkan untuk memecahkan masalah-masalah bangsa lain seperti korupsi dan intoleransi kalau berhasil melenggang ke DPR nanti.
Namun, PSI jangan terlena dan mesti hati-hati! Mengutip kata Jannus TH Siahaan, Doktor Sosiologi Universitas Padjadjaran, kekuasaan tak mudah ditundukkan hanya dengan mimpi-mimpi indah yang tercantol di dalam idealisme politisi muda.
Itu artinya, apakah PSI akan tetap memiliki idealisme seperti sekarang saat sudah berada di lingkaran kekuasaan? Ini yang sangat layak ditunggu!
Kalau kamu juga geram dengan pelaku kekerasan seksual yang kerap lolos dari jeratan hukum, yuk berikan komentarmu di sini. (*)