Pasalnya lantaran sudah dikepung jalan yang kendaraannya selalu berkecepatan tinggi kini ia justru tidak bisa menghuni rumahnya dengan tenang.
"Saya sekarang tinggalnya kadang di sini, kadang di rumah belakang. Di sini penuh debu, kanan kiri kemarin dikepung pengerjaan jalan," katanya.
Ia yang mulanya berjualan es kelapa muda plus membuka jasa bengkel kini tidak bisa meneruskan usaha.
Menurutnya kini usahanya menjadi semakin sepi dan relatif tidak ada yang mampir.
"Yang paling terasa dampaknya sudah tidak bisa membuka jasa usaha bengkel dan minuman. Kondisinya tidak memungkinkan. Sekarang hanya ada adik yang membuka tambal ban di sana," katanya.
Lebih lanjut, ia mengaku tersudutkan dengan proses hukum pembebasan tanah yang kini sedang berjalan di Pengadilan Negeri Surabaya.
Terlebih Pemkot nantinya akan berhak melakukan eksekusi meski urusan sengketa persil belum diselesaikan.
Praktis hal itu akan membuat Kasipan dan keluargnya harus segera angkat kaki dari persilnya meski belum menerima ganti rugi pembebasan dari Pemkot.
"Ya tentu merasa dirugikan. Kalau dihitung dengan jumlah ahli waris delapan orang, uang segitu kami hanya dapat berapa. Uang segitu tidak bisa dipakai untuk beli rumah di lokasi Ahmad Yani," katanya.
Tempat tinggalnya yang saat ini dirasa sangat strategis untuk membuka usaha.
Oleh sebab itu, ia mengaku berat jika harus angkat kaki dari persil peninggalan kekek neneknya tersebut.
"Cari rumah ya belum bisa. Wong uangnya belum bisa diterima kalau sengketanya belum selesai," katanya.
Namun sebagai warga negara biasa, ia mengaku hanya bisa pasrah terhadap pelaksanaan pembangunan jalan.
Ia masih akan berupaya di jalur hukum agar bisa mendapatkan ganti rugi yang layak untuk persilnya tersebut.
Pemerintah Kota Surabaya menargetkan eksekusi persil tersebut bisa dilakukan pada bulan ini atau bulan depan. (*)
Artikel ini sudah tayang di Surya.co.id dengan judul : Kisah Kasipan yang Rumahnya Dikepung FR Ahmad Yani, Tak Dapat Ganti Rugi karena Tanah Sengketa