Grid.ID - Resistensi antimikroba akibat ketidaktepatan pemberian obat jenis antibiotik saat ini sudah menjadi isu dunia.
Badan kesehatan dunia WHO menjelaskan jika semua negara tidak melakukan penanganan secara serius maka diperkirakan tahun 2050, sebanyak 10 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat resisten antibiotik.
“Karena itu semua lapisan masyarakat harus bijak menggunakan antibiotik, tidak boleh mengkonsumsi jenis antibiotik secara sembarangan." kata dr. Hari Paraton, SpOG (K), Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
"Karena dengan pemberian yang salah atau sembarangan bukan membuat sembuh tetapi justru pasien akan kebal dengan antibiotic,” imbuhnya.
* Dapatkah Antibiotik Menunda Periodemu? Ini Penjelasannya
Ia berbicara pada acara jumpa pers memperingati World Antibiotic Awareness 2017 bertempat di RS Dr. Soetomo, Surabaya, Kamis (16/11).
Acara dipandu oleh Dr. dr. Joni Wahyuhadi, SpBS yang dihadiri Prof Dr. dr.Tjandra Yoga Aditama,Sp.P (K) MARS TMH.DTCE Senior Advisor WHO South East Asia Regional Office.
Ini merupakan kerjasama antara WHO dengan RSUD Dr, Soetomo, Pemprov Jatim serta Pfizer.
Tenaga kesehatan lanjut Hari Paraton tidak diperbolehkan memberikan antibiotik kepada pasien yang sebenarnya tidak membutuhkan. Antibiotik digunakan untuk mengobati infeksi bakteri, bukan mencegah atau mengatasi penyakit akibat virus.
”Pekan Peduli Antibiotik Sedunia mendorong komitmen semua pihak untuk menerapkan program pengendalian resistensi antibiotik di tempat masing-masing dengan penggunaan antibiotik secara bijak dan bertanggung jawab” tutup dr. Hari.
Karena itu sebelum mengkonsumsi jenis antibiotic maka pasien harus berkonsultasi dengan dokter atau tenaga kesehatan.
* Serem Banget! Sering Minum Antibiotik Bisa Berisiko Terkena Penyakit Mematikan Ini
Karena tenaga kesehatan akan tahu jenis antibiotic apa serta berapa jumlahnya yang harus diberikan kepada seorang pasien.
“Dengan jenis dan takaran yang pas maka infeksi pada pasien bisa disembuhkan dengan cepat, tapi sebaliknya kalau tidak bukan hanya tidak sembuh pasien malah akan kebal dengan jenis antibiotik."
"Yang mengkhawatirkan lagi bakteri resisten dari seorang pasien bisa menular kepada orang lain,” imbuh Hari di acara yang bertema “Konsultasi Dengan Tenaga Kesehatan Sebelum Mengkonsumsi dan Menggunakan Antibiotik” tersebut. Menurut data WHO, pada tahun 2014 terdapat 480.000 kasus baru multidrug-resistent tuberculosis (MDRTB) di dunia dan 700.000 kematian per tahun akibat bakteri resisten.
Selain itu, berdasarkan laporan the Review on Antimicrobial Resistance, diperkirakan bahwa jika tidak ada tindakan global yang efektif, AMR akan membunuh 10 juta jiwa di seluruh dunia setiap tahunnya pada tahun 2050.
Angka tersebut melebihi kematian akibat kanker, yakni 8,2 juta jiwa per tahun dan bisa mengakibatkan total kerugian global mencapai USS 100 triliun.
Keprihatinan terhadap semakin banyaknya bakteri yang resistensi dengan antibiotik telah mendorong banyak negara dan berbagai insitusi di dunia untuk memberikan perhatian yang Iebih terhadap isu kesehatan ini.
Menurut Hari, Kementerian Kesehatan secara aktif mendukung pengendaIian AMR diantaranya dengan mendirikan Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) yang dibentuk tahun 2014.
Mereka membuat program pelaksanaan pengendaIian resistensi antimikroba di awali pada 144 rumah sakit rujukan nasional dan regional serta Puskesmas di lima provinsi sebagai pilot project. Selain saat ini Indonesua memiliki National Action Plan (NAP) on AMR dengan konsep one-health. Gandhi Wasono