Find Us On Social Media :

Menelisik Pahlawan Perempuan di Tanah Bencana

By None, Rabu, 27 Maret 2019 | 11:05 WIB

Yulianti

Galian itu untuk menanam pipa air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan air desa. Sementara para bapak juga tak kalah sibuk. Mereka memanggul pasir, semen, paralon dan membawanya ke sumber mata air yang ada di atas bukit.

Para bapak dan ibu-ibu ini adalah mereka yang bekerja di program padat karya yang diadakan oleh Jejaring Mitra Kemanusiaan-OXFAM (JMK-OXFAM) untuk membangun saluran air yang rusak akibat gempa. Salah satu di antara ibu yang penuh semangat itu adalah Aulina (36). Ia bertugas menjadi koordinator para perempuan peserta padat karya. “Pekerjaan seperti ini sudah biasa bagi ibu-ibu di desa ini,” kata Aulina sambil tersenyum. Ibu dua anak ini menceritakan, ketika gempa terjadi ia bersama suami baru saja masuk rumah setelah seharian bekerja di kebun mencari daun cengkeh untuk dijual. Bencana tahun lalu itu tak membawa korban warga desanya. Bangunan milik warga pun hanya sedikit sekali yang roboh. “Rumah milik warga rata-rata terbuat dari kayu. Kerusakannya tidak begitu parah, paling miring-miring saja,” ujarnya. Namun, gempa membuat saluran air dari mata air menuju desa putus. Debit air mengalir sangat kecil karena karena salurannya berantakan. Setelah gempa, warga mengalami kesulitan air bersih. Untuk mendapatkan air bersih, warga harus melakukan perjuangan ekstra mengingat sumber mata air cukup jauh dari rumah penduduk. Warga merasa sangat beruntung di tengah kesulitan, datanglah tim JMK-OXFAM untuk membantu kesulitan warga dengan memasang saluran air ke tempat tinggalnya masing-masing. “Tentu tawaran itu kami sambut dengan suka cita. Apalagi, dengan saluran baru ini debit air akan jauh lebih besar dari sebelum bencana tiba. Ditambah lagi pipa paralonnya juga khusus dan kuat puluhan tahun,” katanya dengan wajah bahagia.

Baca Juga : Hotman Paris Blak-blakan Sindir Syahrini Soal Pesawat Jet Pribadi, Melaney Ricardo: Gila, Lebih Nyinyir dari Nikita Mirzani! Aulina menjelaskan bahwa sebelum gempa terjadi,warga kerap berselisih paham antar tetangga soal pembagian air yang alirannya kecil. Padahal, satu dusun terdiri dari 84 kk. Warga pun harus saling bergantian untuk mendapatkan air.

“Makanya kalau tidak saling pengertian antar tetangga bisa gontok-gontokan. Makanya kami menganggap gempa itu membawa ‘berkah’ bagi warga desa sini. Sebab, dengan dibuatnya saluran air, kami akan lebih mudah mendapatkan air bersih,” katanya sambil tertawa bahagia. Makanya warga desa laki perempuan dengan gembira ikut proyek padat karya. “Apalagi selama 15 hari padat karya kami juga dibayar. Jadi makin senanglah. Sudah kerja untuk kepentingan sendiri tetapi juga mendapat upah,” imbuh Aulina yang memiliki 30 pohon cengkeh di ladangnya tersebut. Aulina menjelaskan tak sulit baginya mengkoordinir ibu-ibu bekerja di program padat karya. Tak masalah bagi ibu-ibu untuk ikut mencangkul atau memanggul tanah. “Pekerjaan kami sehari-hari di rumah dan di kebun juga demikian. Di desa kami, antara suami dan istri sama-sama saling membantu. Misalnya saja saat istri memasak, suami membantu cuci piring. Istri merawat anak, suami yang mencuci pakaian. Di kebun juga begitu, suami-istri saling membantu,” tegas Aulina yang suaminya Jedrik Oce selain bekerja di ladang juga sekali melaut mencari ikan.

Agustina NemanSALING BAHU-MEMBAHU DENGAN PARA LELAKI

Sore itu, Agustina Neman (41) duduk di depan rumah barunya di tempat pengungsian di Desa Pombewe, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi. Rumah itu beruba bangunan kayu bentuk panggung dengan atap rumbai dedaunan kering. Meski begitu, Agustina sudah merasa bersyukur.

“Kami semua yang ada disini sekarang sudah makin lumayan, tidak seperti di awal-awal pindah ke mari,” kata istri Alpinus tersebut.Agustina kembali menata hidupnya dengan membuka warung yang menjual aneka makanan kecil dan minuman.

Ibu satu anak ini adalah satu di antara puluhan pengungsi dari Desa Jono Oge.

Ketika terjadi gempa, dengan keadaan panik semua warga di kampungya yang berjumlah sekitar 35 KK itu menyelamatkan diri ke Desa Pombewe, yang menjadi tempat tinggalnya sekarang.

Warga berjumlah ratusan itu istirahat dengan keadaan serba terbatas.

Agustina bersama ibu dan anak-anak tidur di sebuah bangunan tua tak terawat yang di dalamnya penuh dengan kotoran sapi.