Grid.ID - Di tengah bencana yang merenggut nyawa ribuan manusia dan meluluhlantakkan bangunan yang ada di Palu, lahir pahlawan-pahlawan perempuan.
Mereka bekerja melakukan banyak hal demi kemanusiaan tanpa berharap imbalan. Langkah mereka tampaknya biasa, tapi sungguh tak bisa disepelekan.
Berikut para Srikandi dari kawasan yang memiliki julukan Tanah Kaili tersebut.
YuliantiMENGHADANG TRUK BANTUAN MAKANAN
Senja hari saat gempa dan tsunami terjadi, Yulianti bersama suaminya Elawasi berada di depan rumahnya yang posisinya berada di ketinggian.
Jaraknya sekitar 700 meter dari bibir pantai.
Baca Juga : Bernyanyi Tanpa Diiringi Musik, Suara Dua Lipa Justru Terdengar Seksi
Sesaat setelah gempa, ia dengan jelas melihat ombak tinggi dari tengah laut, bergulung-gulung menuju tepi pantai.
Dengan cepat ombak menyapu semua yang ada.
“Mengerikan, saya tercengang hampir tak percaya. Kemudian, ombak berwarna pekat itu mengarah ke tempat saya. Tiba-tiba terdengar suara mendesis sangat keras. Puluhan pohon kelapa di lembah yang ada di depan rumah ambruk seperti tersedot air ke dalam perut bumi,” kata ibu dua orang anak dan 4 cucu yang sudah tumbuh besar tersebut.Yulianti merasa beruntung karena lokasi rumahnya aman dari jangkauan bencana. Namun, dia ikut syok memikirkan banyak warga yang rumahnya di tepian pantai. Selang beberapa jam kemudian datanglah ratusan warga menuju ke tempatnya untuk mencari perlindungan diri.
“Akhirnya malam itu saya tampung di pelataran di bawah pepohonan. Semalaman mereka tidur berlantai tanah dan beratap langit karena kami tidak memiliki tenda,” katanya.Kondisi para pengungsi membuat Yulianti prihatin. Posisi rumahnya yang berada sekitar 700 meter dari tepi jalan raya menuju perbukitan agak terpencil.
Petugas baik para relawan, anggota militer, maupun aparat pemerintah lainnya tak tahu di sekitar rumahnya ada pengungsi sehingga tidak ada bantuan datang.
“ Truk-truk yang medistribusikan bantuan itu lalu lalang di jalan raya depan itu tetapi tidak ke mari,” imbuh Yulianti
Baca Juga : Bernyanyi Tanpa Diiringi Musik, Suara Dua Lipa Justru Terdengar Seksi
Yuliati tak mau berdiam diri melihat kondisi pengungsi yang memprihatinkan.
Kebetulan ia punya bekal pernah beberapa kali ikut dalam gerakan pemberdayaan perempuan.
Ia pernah kursus tentang pemberdayaan perempuan yang diadakah oleh sebuah LSM. Ia pun bergerak untuk segera membantu pengungsi.
Ia berjuang sendirian mendatangi anggota dewan dan komandan Brimob.
Bahkan, ia sampai menghadang truk yang membawa bantuan.
“Saya minta pengemudi truk untuk belok ke perbuktikan tempat para pengungsi. Sejak itu mereka tahu bahwa di sini ada 100 orang lebih pengungsi. Alhamdulillah bantuan logistik termasuk tenda segera didatangkan,” kata Yulianti yang mengaku merasa beruntung pernah menjadi aktivis sehingga memiliki kemampuan bernegosiasi dengan siapa pun.
Masalah untuk pengungsi belum selesai meski pada akhirnya mereka sudah memiliki hunian sementara.
Rumah Yulianti dan tempat pengungsi yang berada di perbukitan tak ada akses air bersih.
Di hari-hari pertama, pengungsi mengambil air di sumber mata air berjarak sekitar 450 meter di bawah tebing.
“Tapi setelah berjalan beberapa minggu, tak mungkin mereka terus-menerus berjalan ratusan meter untuk mencari air bersih. Apalagi, kebutuhan air untuk anak-anak, kan, sewaktu-waktu harus segera terpenuhi,” katanya.
Beruntung di tengah kesulitan tersebut, JMK-OXFAM hadir di tengah-tengah warga pengungsi. Dengan melibatkan warga pengungsi dalam bentuk padat karya, JMK-OXFAM membuat saluran air bersih dari sumber mata air menuju lokasi pengungsian.
Kehadiran JMK-OXFAM bagi kami luar biasa. Sekarang kami tidak perlu lagi ke sumber mata air karena sudah tersalurkan sampai di sini. Selain itu, banyak hal yang diberikan kepada warga , mulai dari edukasi kesehatan sampai penguatan peran perempuan.”
Ibu bersuara tegas ini mengisahkan, sebelumnya ia tinggal di jantung kota Palu. Selama 20 tahun ia menjadi Kader Posyandu serta 4 tahun mengelola beras untuk warga miskin.
Lima tahun belakangan, ia tinggal di perbukitan sebab sejak lama mendapat kabar bahwa perumahan di tepi Pantai Palu itu masuk zona merah.
Kawasan itu memiliki potensi bencana alam yang sangat membahayakan. “Soal ancaman bahaya ancaman itu sebenarnya sudah lama saya dengar,” imbuh ibu tamatan SMA ini.
Baca Juga : 3 Tahun Vakum, Donita Akui Sempat Kagok Saat Kembali Syuting
Sekarang, Yulianti memikirkan bagaimana kelak nasib para pengungsi agar hak-haknya bisa terpenuhi.
Sebab, akibat gempa dan tsunami mereka tidak hanya kehilangan anggota keluarga tetapi harta benda hilang tak tersisa.
Para pengungsi yang rata-rata golongan menengah ke bawah itu sangat membutuhkan perannya untuk mendapatkan hak-haknya.
AulinaGEMPA YANG MEMBAWA “BERKAH”
Siang itu, beberapa ibu-ibu di Dusun Dua, Desa Walandanao, Kecamatan Balesang Tanjung, Donggala, tengah mencangkul membuat galian di sepanjang jalan desa.
Terik matahari yang menyengat sama sekali tak mengurangi semangat mereka. Untuk menahan paparan sinar matahari, mereka mengenakan topi lebar dan baju lengan panjang. Sambil mencangkul mereka bercakap-cakap dan bercanda. Galian sepanjang 1,5 kilometer itu terbentang mulai dari sumber air di atas bukit, kemudian melintas di kebun serta rumah warga.
Galian itu untuk menanam pipa air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan air desa. Sementara para bapak juga tak kalah sibuk. Mereka memanggul pasir, semen, paralon dan membawanya ke sumber mata air yang ada di atas bukit.
Para bapak dan ibu-ibu ini adalah mereka yang bekerja di program padat karya yang diadakan oleh Jejaring Mitra Kemanusiaan-OXFAM (JMK-OXFAM) untuk membangun saluran air yang rusak akibat gempa. Salah satu di antara ibu yang penuh semangat itu adalah Aulina (36). Ia bertugas menjadi koordinator para perempuan peserta padat karya. “Pekerjaan seperti ini sudah biasa bagi ibu-ibu di desa ini,” kata Aulina sambil tersenyum. Ibu dua anak ini menceritakan, ketika gempa terjadi ia bersama suami baru saja masuk rumah setelah seharian bekerja di kebun mencari daun cengkeh untuk dijual. Bencana tahun lalu itu tak membawa korban warga desanya. Bangunan milik warga pun hanya sedikit sekali yang roboh. “Rumah milik warga rata-rata terbuat dari kayu. Kerusakannya tidak begitu parah, paling miring-miring saja,” ujarnya. Namun, gempa membuat saluran air dari mata air menuju desa putus. Debit air mengalir sangat kecil karena karena salurannya berantakan. Setelah gempa, warga mengalami kesulitan air bersih. Untuk mendapatkan air bersih, warga harus melakukan perjuangan ekstra mengingat sumber mata air cukup jauh dari rumah penduduk. Warga merasa sangat beruntung di tengah kesulitan, datanglah tim JMK-OXFAM untuk membantu kesulitan warga dengan memasang saluran air ke tempat tinggalnya masing-masing. “Tentu tawaran itu kami sambut dengan suka cita. Apalagi, dengan saluran baru ini debit air akan jauh lebih besar dari sebelum bencana tiba. Ditambah lagi pipa paralonnya juga khusus dan kuat puluhan tahun,” katanya dengan wajah bahagia.
Baca Juga : Hotman Paris Blak-blakan Sindir Syahrini Soal Pesawat Jet Pribadi, Melaney Ricardo: Gila, Lebih Nyinyir dari Nikita Mirzani! Aulina menjelaskan bahwa sebelum gempa terjadi,warga kerap berselisih paham antar tetangga soal pembagian air yang alirannya kecil. Padahal, satu dusun terdiri dari 84 kk. Warga pun harus saling bergantian untuk mendapatkan air.
“Makanya kalau tidak saling pengertian antar tetangga bisa gontok-gontokan. Makanya kami menganggap gempa itu membawa ‘berkah’ bagi warga desa sini. Sebab, dengan dibuatnya saluran air, kami akan lebih mudah mendapatkan air bersih,” katanya sambil tertawa bahagia. Makanya warga desa laki perempuan dengan gembira ikut proyek padat karya. “Apalagi selama 15 hari padat karya kami juga dibayar. Jadi makin senanglah. Sudah kerja untuk kepentingan sendiri tetapi juga mendapat upah,” imbuh Aulina yang memiliki 30 pohon cengkeh di ladangnya tersebut. Aulina menjelaskan tak sulit baginya mengkoordinir ibu-ibu bekerja di program padat karya. Tak masalah bagi ibu-ibu untuk ikut mencangkul atau memanggul tanah. “Pekerjaan kami sehari-hari di rumah dan di kebun juga demikian. Di desa kami, antara suami dan istri sama-sama saling membantu. Misalnya saja saat istri memasak, suami membantu cuci piring. Istri merawat anak, suami yang mencuci pakaian. Di kebun juga begitu, suami-istri saling membantu,” tegas Aulina yang suaminya Jedrik Oce selain bekerja di ladang juga sekali melaut mencari ikan.
Agustina NemanSALING BAHU-MEMBAHU DENGAN PARA LELAKI
Sore itu, Agustina Neman (41) duduk di depan rumah barunya di tempat pengungsian di Desa Pombewe, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi. Rumah itu beruba bangunan kayu bentuk panggung dengan atap rumbai dedaunan kering. Meski begitu, Agustina sudah merasa bersyukur.
“Kami semua yang ada disini sekarang sudah makin lumayan, tidak seperti di awal-awal pindah ke mari,” kata istri Alpinus tersebut.Agustina kembali menata hidupnya dengan membuka warung yang menjual aneka makanan kecil dan minuman.
Ibu satu anak ini adalah satu di antara puluhan pengungsi dari Desa Jono Oge.
Ketika terjadi gempa, dengan keadaan panik semua warga di kampungya yang berjumlah sekitar 35 KK itu menyelamatkan diri ke Desa Pombewe, yang menjadi tempat tinggalnya sekarang.
Warga berjumlah ratusan itu istirahat dengan keadaan serba terbatas.
Agustina bersama ibu dan anak-anak tidur di sebuah bangunan tua tak terawat yang di dalamnya penuh dengan kotoran sapi.
Sementara itu lelaki dewasa tidur di pelataran beratap langit.
Namun, lanjut Agustina, warga kampungnya memang dikenal pekerja keras.
Mereka tidak terlalu lama merasakan tidur di bangunan tua di tengah savana tersebut. Dengan sekuat tenaga, masing-masing keluarga membuat tempat tinggal sederhana dengan bahan kayu seadanya.
“Sebenarnya memang ada bantuan tenda tapi tidak kuat panasnya. Makanya di sini tidak ada yang menggunakan tenda. Sekarang, tempat tinggal kami lebih nyaman dan sejuk. Masing-masing pengungsi tinggal di bangunan seperti tempat tinggalnya,” imbuh Agustina yang ikut terlibat aktif di berbagai kegiatan warga pengungsian tersebut.
Persoalan utama saat awal tinggal di tempat pengungsian, lanjut Agustina, adalah soal air.
Untuk memenuhi kebutuhan air, mereka berusaha mencarinya meski tempatnya jauh. Dua minggu setelah bencana, datanglah seorang relawan dari JMK-OXFAM yang melakukan pendataan sekaligus berupaya untuk mencari sumber air bersih.
Setelah dilakukan pengeboran, ditemukan sumber air untuk memenuhi kebutuhan para pengungsi.
Namun, setelah dipakai beberapa hari air yang keluar dari perut bumi itu dalam keadaan panas.
Sumber mata air itu akhirnya ditutup dan mencari sumber air lainnya yang kini bisa dimanfaatkan.
Warga desa pun bersyukur dengan kehadiran JMK-OXFAM yang membantu pembangunan di sumber mata air.
Agustina pun mengkoordinir ibu-ibu untuk berperan aktif membantu para bapak yang bekerja.
Para lelaki membangun wadah penampung air, kemudian memasang pipa-pipa karet yang disalurkan ke lokasi pengungsian.
Para ibu bertugas menyediakan makan siang dan kue-kue.
“Kami saling bahu membahu. Lokasi sumber mata air lumayan jauh yaitu 4,5 kilometer. Jalannya pun mesti naik turun bukit,” cerita Agustina.Perjuangan para relawan JMK-OXFAM dan masyarakat tidak sia-sia. Akhirnya, mereka mendapatkan air yang dibutuhkan.
Air dari sungai yang jernih itu disalurkan ke sebuah tanki , kemudian disalurkan lagi ke belasan tanki-tanki kecil untuk dibagi ke masing-masing kelompok tempat tinggal pengungsi.
“Sekarang soal air sudah tidak ada masalah, bahkan sangat nyaman sekali,” papar Agustina.Tak hanya itu, JMK-OXFAM juga membuat kamar mandi yang diperuntukkan untuk para difabel. Pintunya lebih lebar, menggunakan WC duduk, serta jalan menuju kamar mandi juga diratakan dengan semen.
Penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda pun lebih mudah dan nyaman. Saat ini Agustina bertugas merawat fasilitas yang ada agar tidak ada masalah. Misalnya saja rajin mengontrol air di masing-masing tanki termasuk kran-kran yang ada ada di dalam kamar mandi. “Jangan -jangan masih ada yang lupa belum ditutup. Jika air ini ada masalah, kami semua yang rugi. Makanya, saya sering tengak-tengok di rumah-rumah pengungsi untuk mengontrol,” paparnya. Selain soal air, ia juga mendidik anak-anak para penguingsi untuk menjaga kebersihan lingkungan.
Ia tak segan-segan menegur anak-anak yang membuang sampah sembarangan. Kita tinggal di pengungsian ini harus bisa menjaga lingkungan dengan baik, supaya tidak menimbulkan dampak kesehatan,” kata Agustina yang di awal pindah masing-masing keluarga juga mendapatkan hygiene kit dari pihak JMK-OXFAM.
SARNIMEMBENTUK DUTA KESEHATAN
Menanamkan pola hidup sehat pada anak harus dilakukan sejak usia dini.
Sebab, kebiasaan itu akan dibawa sampai kelak mereka dewasa.
Prinsip tersebut melekat kuat pada sosok Sarni, salah seorang guru SDN V Balesang Tanjung, Kabupaten Sigi.
“Kalau tidak diajarkan mulai usia anak-anak, lalu kapan lagi. Kalau sekarang mereka sudah terbiasa dengan kebiasaan hidup sehat, Insya Allah kebiasaan baik itu akan melekat sampai dewasa,” kata Sarni memberi alasan.
Karena itulah, Sarni menyambut baik ajakan relawan dari JMK-OXFAM yang datang ke sekolah untuk mengadakan kegiatan Duta Kesehatan (DK) untuk siswa sekolah di tempatnya mengajar.
Sarni mengatakan, di antara 160 siswa di sekolahnya, akan dipilih 12 siswa yang dianggap paling menonjol di antara kawan-kawannya. “Merekalah yang akan berperan menjadi DK. Kelak mereka diharapkan menjadi motor penggerak yang menularkan kebiasaan baik pada sesama temannya. “Saya sudah seleksi dan 12 anak tersebut sudah terpilih,” kata Sarni, yang dipilih oleh pihak sekolah menjadi guru yang bertanggung jawab dalam proses seleksi DK tersebut. Sarni yang sudah 13 tahun menjadi guru honorer tersebut menjelaskan kriteria untuk menjadi DK.
Selain memiliki nilai akademis yang lebih menonjol di antara teman-temannya, mereka juga memiliki kemampuan berkomunikasi yang bagus. Anak-anak yang terpilih bisa dengan mudah mempraktikkan atau memberi contoh kepada teman-temannya bagaimana cara pola hidup sehat.
“Salah satunya contohnya, mereka diminta ke depan kelas untuk mempraktikkan bagaimana cara mencuci tangan dengan benar. Meski sepele, masih banyak anak-anak yang belum tahu tata caranya lo,” kata lulusan sarjana agama dari salah satu perguruan tinggi di Palu tersebut. Sarni menguraikan, 12 anak DK itu 10 di antaranya adalah perempuan. Hanya ada 2 siswa lelaki yang dipilih.
“Saya tidak tahu dalam banyak hal anak perempuan jauh lebih menonjol daripada anak lelaki. Mungkin anak laki terlalu banyak bermainnya,” katanya sambil tertawa. Dua diantaranya adalah Susi Wiyanti (9) dan Rendi (11). Mereka duduk di bangku kelas 3. Susi maupun Rendi tergolong anak yang pandai bergaul dengan teman-temannya.
Itu terlihat, ketika di kelas mereka selalu menjadi perhatian teman-temannya.
“Saya senang, terpilih jadi Duta Kesehatan,” kata Susi yang bercita-cita ingin jadi dokter dengan wajah tersipu malu. Susi, anak kedua dari dua bersaudara pasangan Baharudin dan Nirma tersebut mengaku bahwa tugasnya sehari-hari adalah mengkoordinir teman-temannya yang punya kewajiban menyapu dan bersih-bersih kelas sebelum jam masuk sekolah.
“Anak yang piket harus datang lebih awal untuk menyapu ruang kelas dan membersihkan meja guru,” kata Susi yang ayahnya seorang nelayan tersebut sambil tersenyum.
Demikian pula dengan Rendi. Anak bungsu dari enam bersaudara yang kedua orangtuanya petani ini salah satu tugasnya adalah mengingatkan teman-temannya jika berperilaku kurang bersih.
“Saya diminta sama Bu Guru untuk menasihati teman yang buang sampah sembarangan,” imbuh Rendi, anak pasangan Asman dan Afita yang kelak jika dewasa ingin jadi tantara tersebut.
Sarni mengatakan, pelatihan tentang kebersihan mutlak diberikan di kawasan tempat tinggalnya setelah tertimpa bencana.
Di tengah kondisi lingkungan yang berantakan, jika tidak bisa menjaga lingkungan kesehatan maka dampaknya akan lebih parah.
Sumber penyakit akan menyebar ke mana-mana. Nah, anak-anak yang menjadi Duta Kesehatan itu, jadi bagian penting untuk selalu menjaga lingkungan bersih dan sehat.Gandhi Wasono M.