Terlebih lagi ketika pihak-pihak terkait tetap menerapkan Undang-undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak atau SPPA.
Menurut Erma, sejauh ini UU SPPA telah sangat baik dan tepat dalam membedakan anak dalam sebuah kasus tindak pidana menjadi pelaku, korban maupun saksi.
Dimana dalam peraturan ini, definisi anak adalah mereka yang sudah melewati usia 12 tahun tetapi belum genap 18 tahun.
“UU yang dibentuk ini merupakan kemajuan dalam konsep pemidanaan di Indonesia.
Sejauh ini UU SPPA memiliki konsep yang sangat bagus dan tepat karena membedakan anak menjadi pelaku tindak Pidana, korban dan saksi suatu tindak pidana,” ungkap Erma seperti yang dikutip Grid.ID dari Tribun Pontianak, Rabu (10/4/2019).
Bagi Erma, UU SPPA telah mengandung prinsip keadilan yang restoratif yang sangat baik, dimana solusi untuk memperbaiki masalah tetap dicari dan rekonsilasi tanpa pembalasan.
Tidak hanya itu, UU SPPA juga mengandung prinsip diversi, yakni pengalihan proses penyelesaian perkara dari proses pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Terkait kasus pengeroyokan siswi SMP di Pontianak oleh 12 orang siswa SMA ini, Erma mengharapkan adanya pendampingan psikologis.
Baik dari pihak korban maupun pihak pelaku harus diberikan pendampingan dan pembinaan psikologis dengan maksimal.