Padahal kalau berbaris dia selalu ditempatkan di deretan paling depan sebelah kanan.
Kalau kami latihan di luar asrama, macam-macam saja komentar penduduk yang kami dengar. Ada yang mengira kami tentara Korea yang kalah perang. Sebagian dari kami tampangnya memang mirip orang Korea.
Setelah enam bulan berlatih, kami sudah seperti tentara profesional layaknya. Tapi, meski sudah dilatih berulang-uiang, tetap saja ada yang kacau ketika harus berbaris.
Baca Juga : Nasib Malang Bayi Sterling, Meninggal Akibat Popok Tak Diganti Selama 2 Minggu Oleh Orangtuanya
Ketika kaki kiri melangkah maju, pada saat yang sama lengan kiri melenggang ke depan. Gerakannya jadi megal-megol bikin geli, mirip bebek mau bertelur.
Padahal anak kecil pun tahu, orang berbaris 'kan tidak begitu.
Ada lagi yang masih juga amatiran. Kalau mendengar aba-aba balik kanan, dia jadi gugup sehingga terlambat menghitung langkah tu-wa-ga itu.
Tak pelak ia selalu menabrak teman di depannya yang sudah berbalik, ... gabrus!
Dari 115 peserta, saya lulus dengan nomor urut satu. Bukan apa-apa, tetapi karena banyak yang sengaja mengelak jangan sampai masuk kelompok sepuluh besar.
Itu bukan tanpa alasan. Waktu itu Presiden RI Bung Karno, baru saja mengumumkan Trikora (Tri Komando Rakyat) untuk merebut Irian Barat (sekarang Irian Jaya) dari tangan Belanda.
Dengan pangkat letnan satu CDM (Corps Dokter Militer), kami disebar ke daerah, ke pasukan dan sebagainya.
Sementara itu mereka yang termasuk dalam kelompok sepuluh besar, mendapatkan latihan; tambahan, antara lain terjun payung.