Grid.ID - Buat kamu pecinta film superhero Black Panther pasti familiar dengan sosok Erik Killmonger yang memiliki bekas luka di sekujur tubuhnya.
Penampilan tokoh antagonis dalam film Black Panther itu terinspirasi dari tradisi suku Chambri yang tinggal di Papua Nugini.
Ya, Suku Chambri memang masih melakukan tradisi melukai diri sendiri agar kulitnya menyerupai buaya.
Baca Juga : Hati-hati, Tak Pernah Disadari Ternyata Barang-barang di Rumah ini Beracun, Lho!
Suku Chambri asli Papua Nugini ini masih mempertahankan tradisi nenek moyang mereka.
Dikutip dari National Geographic Indonesia, Rabu (17/4) suku Chambri yang mendiami Provinsi Sepik Timur masih punya tradisi melukai (skarifikasi) kulit mereka.
Skarifikasi sendiri dilakukan ketika upacara pendewasaan diri bagi anak laki-laki usia 11 tahun suku Chambri.
Baca Juga : Sama-sama Sudah Menikah Lagi, Ahmad Dhani Ungkap Sosok Maia Estianty Tak Tergantian
Tujuan melukai kulit mereka sendiri supaya menyerupai kulit buaya.
Nagi suku Chambri, buaya adalah hewan yang amat dipuja.
Suku Chambri menganggap buaya adalah binatang spiritual dan simbolis.
Suku Chambri amat percaya jika buaya adalah pemangsa yang kuat.
Baca Juga : Ungkap Nasibmu Setelah Menikah Dari Letak Tahi Lalat, Di Tengah Alis Berarti Kamu akan Semakin Sukses!
Baca Juga : Ayu Ting Ting Tampil Beda dengan Hijab Saat Nyoblos, Sandal yang Dipakai Justru Jadi Sorotan!
Apalagi di tengah-tengah suku Chambri ada urban legend di mana zama dahulu ada seekor buaya yang berimigrasi dari Sungai Sepik ke darat untuk menjelma jadi manusia.
Prosesi ini berawal ketika anak usia 11 tahun dibawa ke 'rumah roh' oleh sanak keluarga mereka dan dibiarkan tinggal di sana selama enam minggu.
Selanjutnya ritual skarifikasi kulit dimulai.
Baca Juga : 4 Fakta Duma Hutapea, Adik Hotman Paris yang Sama-sama Tajir dan Sukses sebagai Pengacara
Baca Juga : Lama Tak Terdengar Kabarnya Setelah Cerai dari Ahok, Intip Riasan Veronica Tan Saat Usai Nyoblos
Dalam skarifikasi ini kulit akan dipotong dan dilukai sehingga membentuk sisik layaknya buaya.
Proses pemotongan dan melukai kulit sendiri dulu menggunakan bambu yang sudah diasah.
Namun sekarang sudah menggunakan silet.
Baca Juga : Mengharukan! 8 Tahun Berlalu, Tupai ini Kembali ke Rumah Keluarga yang Menolongnya saat Sekarat
Yang boleh melakukan skarifikasi ini sendiri adalah ketua adat suku Chambri.
Kulit mereka akan disayat sepanhang 2 cm.
Hal ini dilakukan secara berulang-ulang hingga membentuk pola di punggung, lengan, dada, dan bokong.
Tak ada anestasi dalam prosesi skarifikasi ini, jadi bisa dibayangkan betapa sakitnya kulit disayat berkali-kali oleh silet.
Baca Juga : Pria Jombang ini Pelihara Ikan Predator Arapaima, Sehari Bisa Habiskan Rp200 Ribu Hanya untuk Biaya Pakannya
Lebih sakitnya lagi, skarifikasi tak bisa selesai dalam satu sesi saja.
Karena harus menunggu kulit yang disayat pulih lagi kemudian baru menyayat lagi, begitu seterusnya sampai membentuk pola yang diinginkan.
Untuk penghilang rasa nyeri akibat sayatan silet, maka anak-anak usia 11 tahun itu hanya boleh mengunyah semacam daun tanaman obat.
Baca Juga : Bersuara hingga Melahirkan, ini 10 Hal yang Masih Bisa Dilakukan Tubuh Meskipun Sudah Meninggal
Usai menyayat kulit, mereka disuruh berbaring di dekat perapian sehingga hawa panas akan tertiup ke luka-luka bekas sayatan.
Setelahnya luka sayatan akan diolesi tanah liat dan minyak pohon.
Tujuannya agar luka tak terinfeksi bakteri.
Usai sembuh maka anak laki-laki bersangkutan akan mengenakan hiasan kepala dan perhiasan sebagai upacara bahwasanya mereka sudah dewasa.
Baca Juga : Nazar Inul Daratista Pakai Daster Saat Nyoblos, Tetap Mewah Dipadu Jaket Branded Harga Puluhan Juta
(*)