Grid.ID - Akhir-akhir ini kita diguncang dengan berita mengejutkan, yaitu salah satu personel SHINee, Jonghyun meninggal dunia akibat bunuh diri.
Jonghyun dikabarkan meninggal dunia dengan cara membakar briket batu bara, dan menghirup karbon monoksida.
Jonghyun dikabarkan melakukan bunuh diri setelah mengalami depresi dalam hidupnya sebagai idol.
(BACA : Lezatnya Pancake yang Lagi Hits di Instagram, Mau Coba? )
Hal tersebut juga terungkap dari surat terakhir yang ia tulis.
Kematian Jonghyun ini seolah menjadi tamparan keras bagi industri musik K-Pop.
Seperti kita tahu, tak hanya Jonghyun yang memutuskan bunuh diri karena beban hidup sebagai idol.
Namun ternyata, tak hanya Korea Selatan yang memiliki tingkat bunuh diri yang tinggi.
Negara tetangga Korea Selatan, yaitu Jepang, juga memiliki angka bunuh diri yang tinggi.
Bahkan, Jepang memiliki salah satu hutan yang terkenal sebagai lokasi bunuh diri, yaitu Hutan Aokigahara.
Bahkan bulan Oktober lalu, sempat geger adanya 9 mayat terpotong yang dimasukkan di cool box, di apartemen milik pria bernama Takahiro Shiraishi.
Ternyata, dilansir dari Internasional Kompas.com, salah satu korban Shiraishi, berhubungan dengannya lewat forum khusus di internet untuk orang yang ingin bunuh diri.
Hal ini pasti membuat kita sebagai warga Indonesia bingung.
Bagaimana mungkin, negara semaju Jepang, dengan inovasi teknologi dan ilmu pengetahuannya, malah memiliki banyak warga yang ingin bunuh diri.
Dilansir dari BBC.com, ternyata beberapa faktor berikut bisa menjadi penyebabnya.
1. Sejarah
"Isolasi merupakan prekursor nomor satu untuk depresi dan bunuh diri,'' kata Wataru Nishida, seorang psikolog dari Tokyo's Temple University.
"Sekarang makin banyak cerita tentang orang tua yang sekarat sendirian di apartemen mereka,''katanya.
"Mereka terbengkalai. Pada zaman dahulu, anak-anak masih biasa merawat orang tuanya, namun sekarang di Jepang sudah tidak ada lagi."
Selain itu, orang Jepang juga memiliki tradisi "bunuh diri yang terhormat" seperti praktik samurai untuk melakukan "seppuku".
Hal ini juga bisa berpengaruh tingginya angka bunuh diri di Jepang.
Tak hanya itu, Wataru Nishida juga mengatakan, bahwa penduduk Jepang memiliki keyakinan bahwa bunuh diri merupakan hal yang tidak berdosa.
Sehingga banyak orang tua yang sedang dalam masalah keuangan, melihat bunuh diri sebagai jalan keluar dari masalah mereka.
(BACA : Sangat Cocok Untuk Rekam Momen Liburan Akhir Tahun, Inilah 4 Action Camera Terbaik 2017 )
2. Masalah keuangan
Menurut Ken Joseph, tak hanya pria tua yang memiliki masalah keuangan, namun juga pria berusia 20-44 tahun.
Para ahli berpikir bahwa kenaikan tingkat bunuh diri tersebut terkait langsung dengan peningkatan "pekerja tidak tetap", praktik mempekerjakan orang muda dalam kontrak jangka pendek.
3. Teknologi yang mengisolasi
Kecemasan dan ketidakamanan finansial, diperparah oleh budaya Jepang yang jarang mengeluh.
"Tidak banyak cara untuk mengungkapkan kemarahan atau frustrasi di Jepang," kata Nishida.
"Ini adalah masyarakat yang berorientasi pada peraturan. Orang muda dibentuk agar sesuai dengan kotak yang sangat kecil. Mereka tidak memiliki cara untuk mengungkapkan perasaan sebenarnya mereka."
"Jika mereka merasa mendapat tekanan dari atasan mereka dan merasa tertekan, ada yang merasa satu-satunya jalan keluar adalah mati."
Teknologi bisa memperburuk keadaan, meningkatkan isolasi kaum muda.
Jepang terkenal dengan kondisi yang disebut hikikomori, sejenis penarikan sosial akut.
(BACA : Tunjukkan Sikap Profesional, TVXQ Berikan Persembahan Terakhir Untuk Jonghyun Dalam Konsernya )
Selain itu, kesehatan mental dan membicarakannya merupakan hal yang tabu di Jepang. (*)