Laporan Wartawan Grid.ID, Ahmad Rifai
Grid.ID - Demonstrasi besar-besaran terjadi di Iran sejak kamis (28/12/2017).
Aksi yang terjadi di Teheran, Masyhad, Isfahan, serta Rasht bergulir hingga beberapa hari terakhir.
Sejumlah orang turun ke jalan, menuntut kesempatan ekonomi lebih baik dan biaya hidup lebih rendah.
Hingga berita ini diturunkan, sedikitnya ada 22 orang tewas sejak aksi huru-hara berlangsung.
Dikutip wartawan Grid.ID dari RT, Jaksa Penuntut Umum Iran menyatakan ada CIA, Israel, dan Arab Saudi di balik kerusuhan yang terjadi.
Mohammad Jafar Montazeri pada hari kamis (4/1/2017) mengatakan 'otak utama' rencana provokasi kerusuhan adalah seorang warga Amerika Serikat (AS).
Pria yang dimaksud bernama Michael Andrea.
Sosok ini diklaim sebagai mantan agen CIA.
(Baca juga: Detik Dramatis di Tempat Karoke, Pria Jatuh dari Balkon, Terkapar Bersama Puntung Rokok yang Masih Menyala)
Sebuah kelompok dibentuk dan memiliki tugas untun mengelola perselisihan di Iran.
Selain itu, Israel dan Arab Saudi juga masuk dalam pihak yang 'bermain api'.
Dikutip wartawan Grid.ID dari Kantor Berita Republik Islam Iran (IRNA), Montazeri menyebut Andrea berafiliasi dengan seorang agen dari lembaga intelijen Israel, Mossad.
Operasi kolaborasi ini dijuluki dengan sebutan 'Consequential Convergence Doctrine'.
Semua pembiayaan jalannya agenda akan diurus oleh Arab Saudi.
(Baca juga: Meninggal Saat Tadarus Al-Qur'an dan Berpuasa Sunnah, Dara Cantik ini Sempat Cium Kaki Ibunya Sebelum Ajal Menjemput)
Pernyataan Montazeri kembali menggemakan ucapan pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei.
Sebelumnya, ia mengklaim bahwa musuh-musuh Iran menggunakan uang, senjata, serta kekacauan politik untuk menciptakan masalah.
Kembali dikutip dari RT, Duta Besar Iran untuk PBB menembakkan sebuah tuduhan.
Gholamali Khoshroo menuduh AS mencampuri urusan negaranya dalam tataran yang 'fantastis', bahkan mendorong sebuah perubahan rezim.
(Baca juga: Coba Dengar Rintih Tangis Ibu yang Meledak-Ledak, Luka Sobek di Leher Buat Anaknya Meregang Nyawa)
"Pemerintah AS saat ini telah melewati batas dalam aturan dan prinsip hukum internasional yang mengatur perilaku beradab hubungan antar negara," tulis Khoshroo dalam sebuah surat kepada PBB.
Donald Trump sebelumnya pernah mentwit bahwa 'AS sedang menonton!' saat gelombang demonstrasi tengah meletus.(*)