Novel itu juga menuai pujian dalam Time, New York Times, USA Today, The Los Angeles Times, dan The San Fransisco Chronicie di Amerika.
Sementara itu, di negeri sendiri, larangan pemerintah Indonesia terhadap novel itu malah menyebabkannya bertambah laris.
Baca Juga: Ethan Hawke Tunjukkan Dukungannya pada Putrinya, Maya Hawke, Bintang Film Stranger Things 3
- Indonesia Tidak Hadir dalam Bumi Manusia
Penulis Hera Khaerani membuat pemaparan tentang buku yang mengulas Bumi Manusia.
Ia menuliskan begini, "banyak pula yang sudah membaca karyanya, tapi gagal memahami pesan terselubung yang ingin disampaikan sang penulis.
Hal inilah yang ingin disoroti Max Lane dalam bukunya, Indonesia tidak Hadir di Bumi Manusia."
Pesan terselubung Pram diyakininya harus disadari masyarakat dalam menghadapi masa depan Indonesia.
Penulis dan kritikus asal Australia itu menawarkan hasil analisisnya lewat esai dan artikel yang dikumpulkan dalam buku tersebut.
Sesuai dengan judul bukunya, Max mengajak masyarakat untuk turut merenungi mengapa dalam tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, Pram tidak pernah sekali pun menulis kata Indonesia di dalamnya.
Bagi Max, absennya ‘Indonesia’ di Bumi Manusia justru menjadi gagasan fundamental yang menunjukkan kegeniusan seorang Pramoedya Ananta Toer sekaligus menjadi pembelajaran berharga bagi rakyat Indonesia saat ini untuk memahami apa itu Indonesia. Pramoedya bagi Max Lane hendak menegaskan soal kebaruan Indonesia.
Baca Juga: Sejak Kecil Suka Nonton Film Horor, Natasha Wilona dapat Peran Mati Suri
- Diusulkan Jadi Bacaan Wajib Buat Belajar Sejarah
Seorang penulis blog, Althesia Silvia, pernah menuliskan pengalamannya seusai membaca Bumi Manusia, yang ia pinjam dari sahabatnya. Berikut petikannya, "Buku ini menjadi jendela saya melihat ke masa lalu, saya tumbuh ditahun 90an dan baru membaca buku ini tahun 2016, reaksi saya tentunya syok dan geram melihat situasi masa lalu seperti itu."
Lewat Bumi Manusia saya mengenal konteks masa kolonial, potret pemuda yang menyanjung pengetahuan diatas darah, menimba ilmu dari cara Eropa tetapi menemukan kepincangan dalam attitude mereka, sementara dirinya sendiri geram dengan masyarakat dan adat pribumi serta mind-set yang mengekang terjadinya terobosan pada masa itu.
Di buku ini juga, saya bertemu dengan Max Havelar alias Eduard Douwes Dekker. Saya jadi tahu dimana posisi buku Max Havelar dalam fiksi sejarah Indonesia, karena Bumi Manusia memberikan landasan untuk saya memetakan sejarah dan buku-buku historical fiction lainnya yang ingin saya baca, seperti Multatuli dan cerita tentang Nyai Dasima.
"Bagaimana kalau buku ini dijadikan bacaan wajib saja untuk anak sekolahan? Saya jamin lebih nendang ketimbang metode belajar sejarah dengan menghapal atau sekedar mencatat buku pelajaran." (Ulasan lengkapnya dapat dibaca di sini)
Baca Juga: Ingat dengan Film Miracle in Cell No. 7? Dua Aktor Utamanya Reunian Setelah 6 Tahun Terpisah
- Kritik dari Penulis Indonesia
Penulis Kosasih Kamil (1980) meragukan kepintaran tokoh Ontosoroh, seorang nyai yang belajar otodidak. Sikap mengurung diri (inwardlooking) Nyai Ontosoroh dinilai kurang meyakinkan kehebatan dan kelebihannya sebagai seorang Nyai.
Dengan demikian, Nyai Ontosoroh sebagai protagonis boneka hidup terlalu banyak dibebani tuntutan dan sikap pengarangnya.
Wartawan Parakitri Simbolon melihat Bumi Manusia dari aspek sejarah Indonesia pada masa akhir abad ke-19, yakni sebagai bahan yang belum dijamah oleh para penulis Indonesia.
Selain itu, Parakitri menyatakan bahwa melalui novelnya ini, Pramoedya telah mencairkan kebekuan sastra Indonesia yang belakangan ini hanyut berputar-putar dalam inovasi-iovasi teknik, berpilin-pilin dalam kegelisahan dan kekosongan jiwa perseorangan yang terisolasi dari persoalan masyarakatnya atau merosot dalam kesenangan murahan yang bernama pop. (*)
Artikel ini telah tayang di National Geographic Indonesia dengan judul, “Trailer Bumi Manusia Trending di Youtube, Ada 7 Fakta Penting di Balik Novel Legendaris Ini”