"Listrik bagaimana? Telepon gimana? PBB juga gimana? Belum sampah, gaji guru. Defisit."
"Yayasan minta laporan keuangan, ya saya kasih saja tagihan listriknya langsung. Mau ngelaporin apa lagi?" paparnya.
Tanpa ingin menyalahkan siapa-siapa, dia hanya ingin bertahan sebisanya di sekolah yang entah berapa lama akan bertahan itu.
"Saya tidak mau menyalahkan siapa punlah, lihat sendiri saja. Kami mencoba memberikan yang terbaik saja," tuturnya.
Kondisi ini tak hanya berdampak pada biaya operasional, tetapi juga pada nasib guru-guru yang mengajar di sekolah tersebut.
"Tadinya ada sembilan, jadi tinggal enam, guru-guru itu mencari jam mengajar, misal guru PKN, dia ngajar cuma enam jam, satu jam dibayar Rp 17.500 kalau sebulan berarti cuma dapet Rp 120.000," papar nya.
Wakil kepala sekolah yang sekaligus merangkap sebagai guru matematika dan IPA ini mengaku tidak dapat berbuat banyak.
Baca Juga: Demi Ganti Waktu yang Hilang Selama Hamil Kedua, Sarwendah Rela Antarkan Thalia Sekolah Naik Sepeda
Guru yang masih bertahan rata-rata dia mengajar disekolah lain agar bisa menutupi kebutuhan hidup.
"Iya harus (ngajar disekolah lain) enggak bisa cuma mengandalkan di sini, kalau saya nyawa saya sudah disini, sudah mendarah daging," kata Wakil Kepala Sekolah.