Tak perlu membelikan barang mewah, hanya jajanan sore yang bisa menambah nikmat teh hangatnya. Terbesit pertanyaan, “Apakah saya mampu sendiri sampai setua beliau?’
Dari situ saya mulai menyelami dibalik pertanyaan “Kapan menikah?” yang terdengar ancaman atau becandaan bagi para pria atau wanita single. Saya kembali teringat quote yang seringkali saya tulis di artikel sebelumnya: “Happiness is real only when shared “- Alexander Supertramp. Saya sadar ini adalah tanggungjawab besar dan awal dari sebuah petualangan dalam hidup.
Saya pun memutuskan menikah di tahun 2018 dan siap membagi kebahagiaan saya bersama I Gusti putu wiyani, yang kini berstatus sebagai istri dan juga ibu bagi anak kami, Sun Moonstar (4 bulan).
Pantang Gantung Kamera
Bagi saya, berkeluarga bukan kendala untuk eksplorasi mimpi dan passion. Meski tak bisa sebebas dulu, namun hal itu tak membuat jiwa fotografi saya surut. Kalau istilah orang-orang Ït’s in my blood”.
Bedanya, bila dulu ‘panjang kaki‘ sampai mengarungi lautan, sekarang yang ada di depan mata saja diarungi.
Sesekali, bila merasa bosan, saya cukup membidik kamera di pantai dekat rumah, Kedonganan, Jimbaran.
Jauh atau dekat, menggembara atau tidak, passion saya terhadap alam dan karakteristik budaya serta orang Indonesia masih membuat saya selalu bergairah untuk mencurahkan kecintaan terhadap fotografi.
Ya, sedikit berbeda dengan keputusan banyak orang, setelah menikah saya lebih tertarik melakukan pekerjaan freelance untuk Majalah Lion Air dan Anadolu.
Kecil atau banyaknya uang yang dihasilkan tetap harus disyukuri. Kejadian menarik pun tak surut terjadi.
Misalnya, sebelum menikah saya sangat getol menangkap momen erupsi Gunung Agung, Bali (pernah Erupsi di Tahun 1964 dan kembali erupsi di Tahun 2017), malah bisa dibilang terlalu bernapsu.