Grid.ID - Selfie, sudah sangat melekat di kehidupan kita sehari-hari.
Bertemu teman, sedang berlibur, atau pun melewatkan momen tertentu, pasti kebanyakan orang akan mengabadikannya dengan selfie.
Nah, setelah melakukan selfie pasti kita akan melihat hasilnya.
Jika kurang puas, tak usah untuk mengambil foto lagi.
(BACA : Hotman Paris Punya Rumah Mewah, Coba Lihat Kondisi Makam Kedua Orang Tuanya )
Melainkan tinggal edit aja foto tersebut dengan berbagai aplikasi yang menyediakan banyak fitur untuk mempercantik wajah.
Fitur-fitur edit yang menawarkan kemulusan wajah kini tak susah untuk digunakan.
Banyak juga yang menyebutnya 'kamera jahat'.
Pasalnya, hasil foto setelah diedit, tampangnya akan berbeda dari realita yang ada.
(BACA : Miris, Ayah Posting Foto Lucu Anaknya, Satu Jam Kemudian Peristiwa Tragis Terjadi Pada Putrinya )
Setelah foto sudah sesuai harapan kita.
Tak lama pasti akan diunggah ke berbagai media sosial.
Dilansir Grid.ID dari Kompas.com, 20 Januari 2018, ternyata ada krisis kesehatan mental yang tersembunyi di balik kebiasaan mengedit foto.
Faktanya, ada banyak penipuan penampilan di media sosial yang pengaruhnya terbawa hingga ke kehidupan nyata.
(BACA : Kisah Pembunuh Sadis Termuda di Dunia, Memakan Tiga Korban Saat Usianya Masih 8 Tahun )
Mengambil, melihat dan membagikan foto diri yang telah diedit membawa dampak terhadap bagaimana orang lain memandang diri kita.
Berdasarkan data Pew Research Center, total ada 166 juta pengguna harian Snapchat, 41 persen di antaranya adalah remaja berusia 13 hingga 17 di tahun 2015.
Mereka suka menggunakan fasilitas filter pada Snapchat yang membuat mereka terlihat konyol dan bermain-main.
Mulai dari filter mahkota bunga, telinga kelinci, hingga taburan hati.
Sementara Instagram memiliki 500 juta pengguna harian dan digunakan oleh sekitar 52 persen remaja berusia 13 hingga 17 tahun pada 2015.
Instagram memiliki lebih dari 20 jenis filter yang bisa digunakan untuk mengedit foto.
Kita bisa mengedit foto kita menjadi hitam-putih dan mengatur tingkat keterangannya, hingga bisa membuat seolah kita berfoto dengan latar belakang emas.
Pada awal tahun, badan kesehatan masyarakat di Inggris merilis #StatusOfMind, laporan tentang dampak penggunaan media sosial terhadap kesehatan mental.
Survei dengan 14 pertanyaan ini dilakukan terhadap 1.500 anak muda berusia 14 hingga 24 tahun.
Pertanyaan yang diajukan terkait dengan kondisi mental dan penggunaan YouTube, Snapchat, Facebook, Pinterest, dan Twitter.
Kecuali Youtube, semua platform media sosial tersebut terkait dengan efek kegelisahan dan depresi para penggunanya.
Dua media sosial yang paling menonjolkan foto, yaitu Snapchat dan Instagram, dianggap memiliki skor paling rendah dalam hal "kesejahteraan mental".
Hal ini terkait dengan "bullying" dan munculnya "fear or missing out" (FOMO).
FOMO adalah fobia yang menjangkit para pengguna media sosial, sehingga mereka takut ketinggalan tren atau berita.
Mereka yang suka memantau tagar #thinstagram di Instagram juga mengalami kecemasan soal bentuk tubuh.
Hasil serupa juga ditemukan dari survei yang dilakukan oleh tim dari University of Pittsburgh tahun 2014 dengan responden 1.787 orang berusia 19 hingga 32 tahun.
Mereka yang menggunakan tujuh atau lebih media sosial beresiko mengalami kecemasan dan depresi tiga kali lipat, dibandingkan mereka yang hanya punya dua atau tiga media sosial.
Salah satu cara untuk mencegah efek negatif media sosial tersebut adalah membuat orang menyadari apakah sebuah foto sudah dimanipulasi atau tidak.
Misalnya dengan membuat aplikasi dengan fitur khusus yang bisa mengenali mana foto yang diedit. (*)
Artikel Ini Pernah Tayang di Kompas.com dengan Judul "Pesona Palsu Foto "Selfie" yang Diedit di Media Sosial"