Davi mengatakan, itu merupakan warna khas Betawi yang menarik perhatian orang.
"Jadi seperti warna orang Betawi yang selalu nabrak warnanya. Warnanya memang harus mentereng dan norak. Biar apa? Biar dia dari jauh juga sudah kelihatan ada ondel-ondel," ujar Davi.
Sebenarnya, filosofi ondel-ondel sendiri juga tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2017 tentang Ikon Budaya Betawi.
Dalam pergub itu, filosofi ondel-ondel adalah: "Sebagai perlambang kekuatan yang memiliki kemampuan memelihara keamanan dan ketertiban, tegar, berani, tegas, jujur dan anti manipulasi".
Jarang dipelajari
Kata Davi, saat ini sedikit sekali anak muda yang menunjukkan kepedulian kepada budaya Betawi itu. Pengamen ondel-ondel yang kebanyakan anak muda itu pun tidak bisa disebut peduli.
Sebab, kata Davi, tujuan mereka kebanyakan hanya mencari uang.
"Sudah jarang yang mau belajar ondel-ondel. Kalau pun ada, mereka enggak mau cari sejarahnya, filosofinya, warnanya, rambutnya harus berapa," kata dia.
Davi pun berharap anak-anak muda bisa semakin banyak mempelajari ondel-ondel dan filosofinya. Davi mengapresiasi segelintir anak muda yang masih tertarik pada budaya ini.
Davi mengenal beberapa anak muda yang menggeluti ondel-ondel.
"Tapi mereka tidak menjadikannya sebagai mata pencaharian. Mereka punya kerjaan lain semuanya," kata Davi.
Lewat mereka, dia mengharapkan keberlangsungan ikon budaya Betawi ini supaya tidak hilang tergerus zaman.(*)
Artikel ini telah tayang di kompas.com dengan judul "Cerita di Balik Wajah Ondel-ondel yang Seram dan Mata di Hati..."