Grid.ID – Hari Ulang Tahun Republik Indonesia tinggal menghitung hari.
Berbagai perlombaan dan festival pun tengah dipersiapkan untuk menyambut hari kemerdekaan Indonesia yang ke-74.
Balap karung, makan kerupuk, membawa kelereng dengan sendok, merupakan sedikit dari beragamnya perlombaan khas 17 Agustus.
Salah satu lomba yang kerap muncul adalah panjat pinang.
Baca Juga: Tak Sadar Telan Gigi Palsunya Sendiri Selama Operasi, Kakek 72 Tahun ini Batu Darah Berkepanjangan
Lomba ini mengharuskan setiap tim untuk bekerja sama memanjat tiang agar dapat mengambil hadiah yang digantung di ujung atas tiang.
Namun, yang membuatnya menarik adalah adanya minyak atau lumpur yang melumuri seluruh bagian tiang.
Sehingga membuatnya menjadi licin untuk dipanjat.
Tak jarang kejadian-kejadian lucu sering trerjadi dan menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat yang menonton.
Baca Juga: Masih 24 Tahun, ini Sosok Brigadir Anumerta Heidar yang Berprestasi dan Jago Bahasa Jerman
Saking seringnya ada di lomba 17 Agustusan, lomba ini dianggap asli Indonesia.
Tapi jika Kamu pernah menonton serial Para Pencari Tuhan yang diproduksi Deddy Mizwar, ada satu adegan ketika usulan memasukkan panjat pinang dalam daftar lomba 17 Agustusan ditolak.
Ternyata, lomba yang sudah turun temurun itu bukan asli Indonesia, justru ada sejarah menyedihkan dibaliknya.
Lomba panjat pinang sebenarnya mulai masuk Indonesia pada masa penjajahan Belanda.
Orang Belanda menyebutnya dengan De Klimmast yang berarti panjat tiang.
Jika sekarang di Indonesia lomba itu dilakukan pada 17 Agustus, bangsa Belanda biasanya melakukan itu tanggal 31 Agustus.
Baca Juga: Ditembak dan Diseret Ratusan Meter, Brigadir Anumerta Heidar Gugur Ditangan KKB yang Diburunya
Tanggal 31 Agustus pada masa itu bertepatan dengan ulang tahun Ratu Wilhelmina.
Namun dalam praktiknya, lomba ini tak hanya digelar tanggal 31 Agustus saja, melainkan pada hari-hari besar lainnya atau bahkan setiap pesta pernikahan.
Pada masa penjajahan, lomba ini diselenggarakan oleh Belanda untuk pribumi.
Orang-orang Belanda akan menggantungkan berbagai benda di pohon pinang.
Hadiah yang digantung di cabang-cabang pohon pinang biasanya makanan, gula, pakaian, dan tepung.
Sedangkan batang pinang akan dilumuri dengan minyak sebagai pelumas.
Barang-barang seperti itu menjadi suatu hal yang mewah bagi orang-orang Indonesia pada saat itu.
Baca Juga: Ketahui 4 Penyakit Seksual Menular Baru yang Dikhawatirkan Para Ahli
Tentu saja, pasalnya ketika masa penjajahan, rakyat Indonesia kekurangan bahan makanan dan bahan pokok lainnya.
Maka tak heran jika pribumi berusaha mendapatkan hadiah-hadiah yang digantung itu.
Upaya yang berat untuk mengambil hadiah itu lah yang kemudian dinikmati oleh Belanda.
Melihat pribumi bersusah payah mendapatkan barang yang murah bagi mereka itu adalah sebuah hiburan.
Tak jarang mereka akan tertawa saat melihatnya.
Baca Juga: Unik! Museum di Paris ini Ajak Pengunjungnya Datang Tanpa Busana
Sejarah kelam panjat pinang inilah yang menimbulkan pro dan kontra untuk menjadikannya sebagai lomba 17 Agustusan.
Masyarakat yang kontra menilai panjat pinang melukai nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia.
Mengingat ini tradisi dari Belanda yang telah menjajah Indonesia selama 3,5 abad.
Apalagi pada saat itu kesusahan pribumi dijadikan alat untuk menghibur kaum elit Belanda.
Meski begitu, masyarakat yang pro mengambil sisi positifnya.
Lomba panjat pinang mampu mengukuhkan rasa gotong royong yang merupakan salah satu hal yang melekat pada bangsa Indonesia.
Saling membantu dan pantang menyerah juga merupakan hal positif dibalik panjat pinang.
Lomba panjat pinang juga dapat meningkatkan hubungan sosial masyarakat, apalagi dilakukan dalam suasana yang menyenangkan yaitu saat perayaan 17 Agustusan. (*)
Artikel ini telah tayang di Intisari online dengan judul, “Sejarah Lomba Panjat Pinang yang Biasanya Meriahkan 17 Agustusan, Tradisi Kesenangan Belanda dari Kesusahan Pribumi”