Sesampainya disana mereka berada di bawah kekuasaan kontraktoryang serakah dan suka mengeksploitasi pekerjanya.
Awalnya mereka enggan memperkerjakan perempuan karena memotong tebu adalah pekerjaan kasar.
Serta perempuan akan kehilangan satu atau dua hari masa kerja selama periode menstruasi mereka.
Jika mereka melewatkan satu hari pun kerja justru pekerja diwajibkan untuk membayar penalti.
Kondisi kehidupan di wilayah yang dianggap makmur itu ternyata jauh dari perkiraan.
Keluarga harus tinggal di gubuk atau tenda dekat ladang, tidak ada toilet, serta panen ladang dilakukan saat malam hari.
Tidak ada waktu tetap untuk tidur atau pun bangun, sehingga pekerjaan ini jadi lebih sulit dilakukan oleh wanita.
Kondisi higienis yang buruk membuat banyak wanita tertular infeksi dan akhirnya dokter yang dianggap tak bermoral mendorong mereka untuk mengangkat rahimnya.
Sebagian besar wanita di daerah ini menikah muda dan sudah memiliki anak di umur 20-an.
Sehingga dianggap tidak bermasalah jika rahimnya diambil agar tidak ada menstruasi lagi.