Pengacungan 'kartu kuning' dengan tangan kanan Zaadit, sebenarnya merupakan buku paduan suara Universitas Indonesia yang kebetulan berwarna kuning.
"Itu tadi buku paduan suara, karena pengawasan lumayan ketat tadi pas masuk ke dalam, makanya kita pakai buku itu, biar bisa masuk," tutur Zaadit.
Zaadit menjelaskan, pengacungan buku panduan berwarna kuning sebagai gambaran jika Presiden mendapatkan kartu kuning dengan maksud memberikan peringatan agar menyelesaikan permasalahan bangsa.
"Kita bawa tiga tuntutan, dan kita sudah sampaikan lewat aksi di stasiun (Universitas Indonesia)," tutur Zaadit.
Adapun tiga tuntutan tersebut, kata Zaadit, pertama terkait gizi buruk di Papua untuk segera diselesaikan oleh pemerintah karena lokasi kejadian luar biasa campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat, merupakan bagian dari Indonesia.
"Kami ingin mau dipercepat penyelesaiannya karena sudah lama dan sudah banyak korban," ucapnya.
Kemudian, tuntutan kedua yang disuarakan Zaadit, terkait Plt atau penjabat gubernur yang berasal dari perwira tinggi TNI/Polri.
"Kita tidak pingin kalau misalnya kembali ke zaman orde baru, kita tidak pengen ada dwifungsi Polri, dimana Polisi aktif pegang jabatan gitu (gubernur) karena tidak sesuai dengan UU Pilkada dan UU Kepolisian," ujar Zaadit.
Sedangkan tuntutan ketiga, yaitu persoalan Permenristekdikti tentang Organisasi Mahasiswa (Ormawa) karena dapat mengancam kebebasan berorganisasi dan gerakan kritis mahasiswa.
"Kita tidak pingin mahasiswa dalam bergerak atau berorganisasi dan berkretasi itu dikungkang, oleh peraturan yang kemudian dibatasi ruang gerak mahasiswa," papar Zaadit.
Aksi Zaadit tersebut terpaksa harus diamankan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) dan ditariknya ke luar ruangan Balairung, serta dibawa ke Pengamanan Lingkungan Kampus (PLK).
"Tidak ada (kekerasan), cuman diminta keterangan saja, diminta identitasnya. Aksi ini dilakukan spontan, karena sebenarnya niatnya sudah ada tapi berubah-ubah rencana, menyesuaikan kondisi di dalam juga," ujar Zaadit. (*)