Namun permintaan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Lies.
"Pernah dimintai untuk Rp 500.000 mobil dan Rp 300.000 motor per bulannya. Saya tidak mau, akhirnya sekarang gratis. Enak saja mereka minta-minta ke saya, orang ini tanah juga tanah nenek moyang saya," ungkap Lies.
Kini Lies bisa masuk dengan bebas, meski tetap membawa motor.
Bagi Lies, rumah peninggalan nenek moyangnya tersebut menyimpan sejuta kenangan, yang tak akan pernah rela ditinggalkannya, meski hendak dibeli seharga Rp 3 miliar.
Bahkan ditambah satu unit apartemen di lingkungan tersebut, Lies tetap bergeming.
“Ih ngapain banget, dibayar berapa pun rumah ini saya tidak sudi dibeli. Mereka mah emang cuma mau kuasai tanah ini. Ini tumpah darah saya di sini,” ungkapnya.
Hingga Lies pernah diancam oleh preman dan ditakut-takuti agar pindah dari lingkungannya.
"Ya kan dibikin rese kampung ini lama-lama akhirnya pada kabur, rumah warga pada dijual-jualin dengan harga semau dia (warga), capek kali ketenangannya diusik. Kalau saya kan tidak takut, banyak lah saudara saya perwira, abang saya saja pangkatnya sudah tinggi," ucap Lies.
Berbanding terbalik dengan nestapa yang dirasakan oleh Lies, di kawasan yang sama justru terdapat perumahan mewah yang berdiri di atas mal Thamrin City.