Laporan Wartawan Grid.ID, Dinda Tiara Alfianti
Grid.ID - Berbagai pandangan dan stigma negatif pada masyarakat selalu timbul terhadap masyarakat penyandang disabilitas, khususnya perempuan.
Padahal, kondisi sebenarnya terjadi karena lingungan yang tidak mampu memahami dan memberikan akomodasi yang layak agar para penyandang disabilitas mampu mendapatkan hak yang sama dan melaksanakan tanggung jawabnya.
Hal tersebut juga terjadi dalam praktik pemasangan alat kontrasepsi yang sering dilakukan secara paksa, tanpa ada persetujuan dari penerimanya yang merupakan penyandang disabilitas mental atau intelektual.
(Perayaan International Women's Day : Stop Diskriminasi dan Kekerasan Pada Perempuan Disabilitas!)
"Kebanyakan keluarga penyandang disabilitas melakukan pemasangan spiral pada perempuan disabilitas yang sudah menikah, karena mereka takut kalau anak yang dilahirkan akan menjadi beban, dan malah bisa cacat seperti ibunya, padahal hal ini belum tentu terjadi dan mestinya harus dihindari," ungkap Yeni Rosa Damayanti selaku Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia, dalam acara diskusi publik "Posisi Perempuan Disabilitas di Mata Hukum : Hak dan Kapasitas", Kamis (08/03), di Plaza Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki.
Yeni juga menjelaskan bahwa keputusan kerap hanya ditanyakan pada keluarganya, karena dokter atau petugas kesehatan tidak mampu untuk berkomunikasi secara efektif dengan penyandang disabilitas.
"Keterbatasan kemampuan berkomunikasi ini yang menjadi alasan utama suatu tindakan menghilangkan hak seorang penyandang disabilitas untuk membuat keputusan atas tubuhnya sendiri," jelasnya.
Pilihan pemasangan alat kontrasepsi sebagai solusi dari upaya penghilangan kekerasan seksual juga dianggap keliru.
Karena nyatanya, upaya ini justru akan memicu terjadinya kekerasan seksual berulang terhadap penyandang disabilitas dengan hilangnya resiko kehamilan pada korban.
Selain itu, pemakaian alat kontrasepsi kepada penyandang disabilitas tanpa persetujuan yang bersangkutan merupakan bentuk dari diskriminasi dan kekerasan seksual.
Hal itu jelas melanggar prinsip-prinsip dalam Pasal 12 ayat (1) Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan Pasal 16 ayat (1) dan 17 Konvensi Hak Penyandang Disabilitas. (*)