"Eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap anak-anak sering tenggelam dalam hingar bingar perdebatan tentang moral dan budi pekerti, padahal persoalannya jauh lebih pelik."
Grid.ID - Dua perempuan ini masih tergolong anak-anak di bawah umur.
Sama-sama berusia 16 tahun.
Namun rias wajah yang tak bisa disebut tipis, mengaburkan kemudaan mereka.
Rias memang jadi bagian dari profesi mereka sehari-hari sebagai perempuan yang bekerja di dunia hiburan malam.
Sementara anak-anak lain seusia mereka menikmati masa muda, bermain, mengecap pendidikan, dan bergembira.
Cinta buta dan diskriminasi
Bulu mata palsu panjang dan lentik mempercantik matanya yang sebelumnya telah dibubuhi eyeliner.
Pulasan bedak yang cukup tebal, blush on merah muda, serta lipstik berwarna nude mewarnai parasnya yang sebetulnya masih memiliki kesegaran khas remaja.
"Saya pengen jadi makeup artist," kata Mira, nama samaran yang dipilihnya untuk percakapan ini.
Profesi itu lebih realitis untuknya, kata Mira.
Karena jalan meraih cita-cita sebagaimana anak lain semacam insinyur, dokter, pebisnis telah tertutup.
Pendidikannya terputus di kelas 9, menjelang ujian kelulusan tingkat menengah pertama.
Gara-garanya, sekolah tidak lagi jadi tempat yang nyaman dan aman baginya.
Rasa terancam itu tumbuh akibat kejadian yang ia alami ketika masih duduk di bangku kelas 6 SD.
Seorang anak yang lebih tua, sudah SMA, berhasil mempedayanya.
Ia dipacari, dan terus menerus didesak dan dirayu, bahkan diancam, agar mau berhubungan seks.
Inilah Sebab Mengapa Banyak Orang Menggemari Makanan Pedas
Hubungan terlarang itu pun terjadi beberapa kali karena paksaan dan ancaman.
Ia bahkan begitu takut orangtuanya tahu. Karena ayahnya cepat naik pitam, katanya.
"Bapak pernah mukulin orang yang nagih hutang, jadi takut," ungkapnya dalam perbincangan di sebuah kafe di pinggir jalan Kota Bandung yang ramai.
Sialnya, entah bagaimana, banyak murid di sekolah Mira bergunjing tentang dirinya.
Bahwa ia sudah tak lagi perawan -status yang sangat memojokkan perempuan, terlebih anak di bawah umur.
Mira mulai mengalami perundungan dan dijauhi teman-temannya.
Ia pun memutuskan keluar dari sekolah, karena merasa sudah tak diterima lagi oleh murid-murid lain.
Lebih-lebih, Mira berasal dari keluarga miskin yang tinggal di sebuah pemukiman padat dan dikenal rawan kejahatan di Kota Bandung.
Uang keluarga kandas di meja judi
Ibunya bekerja di sebuah tempat jajanan dengan gaji yang minim.
Bapaknya seorang supir ojek pangkalan.
Bagaikan cerita di sinetron-sinetron murahan: masalah semakin parah karena bapaknya hobi berjudi, dan tentu selalu kalah sehingga hutang berserakan dimana-mana.
"Kadang gaji mama juga dipakai untuk bayar hutang bapak," ungkap Mira terisak. Dan kedua orangtuanya sering bertengkar.
Terperdaya Teman
Sekeluar sekolah, seorang temannya yang ia panggil kakak menawari apa yang tampak baginya seperti jalan keluar: bekerja sebagai pemandu lagu (PL) di sebuah tempat karaoke, tak jauh dari sebuah terminal bus.
Tawaran itu segera diterima Mira yang saat itu baru berusia 14 tahun.
Mira sempat ketakutan saat melayani klien pertamanya.
"Saya sama sekali tidak menduga harus menemani bapak-bapak, yang ternyata seorang polisi. Saya harus menemani dia bernyanyi selama tiga jam," katanya.
Di hari pertamanya kerja itu Mira mendapat bayaran Rp150.000.
Lambat laun, ia terbiasa.
Dan selanjutnya, cukup mudah bagi Mira mendapat klien hingga akhirnya mendapat tiga orang gadun (pelanggan tetap): seorang polisi, aparat Satpol PP, dan orang 'biasa.'
Mulai berkecimpung di dunia malam
Awalnya, tugasnya memandu lagu, menemani jalan-jalan dan minum-minum.
Namun kemudian ia mulai dibujuk untuk memberikan layanan seks. Istilahnya, BO -Booking Order.
"Asalnya dijebak teman. Katanya mau diajak jalan sama klien. Tapi ternyata dibawa ke apartemen," tuturnya.
Di apartemen itu, Mira dan temannya bertemu dengan tiga orang pria dewasa.
Tadinya, Mira menolak lantaran hanya dipesan untuk menemani jalan-jalan.
Namun, temannya terus membujuk dengan alasan "sudah terlanjur datang."
Akhirnya Mira menyerah, termakan bujukan temannya, "Lagi pula, saya sudah tidak perawan," pikirnya saat itu.
Mira hanya dibayar Rp 150 ribu untuk layanan seks pertamanya itu.
Bayaran yang sama dengan tiga jam menemani klien bernyanyi.
Mira mengeluh, merasa bayaran itu tidak sebanding.
Namun kerja seks berikutnya lebih mudah bagi Mira.
Dan ia sudah bisa lebih pasti, sekali transaksi ia dibayar Rp 700 ribu hingga Rp 800 ribu.
Dari uang itu, Mira bisa membantu membayar hutang bapaknya, cicilan motor, dan biaya sekolah kakak serta adik.
Sebagian lagi, dipakai membiayai kebutuhan hidupnya.
Mengaku pada orangtua sebagai buruh pabrik
Untuk menyamarkan pekerjaannya, Mira pindah dari rumah keluarganya, dan tinggal di kos.
Kepada orangtuanya, Mira mengaku bekerja sebagai buruh pabrik di Subang.
Mira sempat menggantungkan harapannya pada seorang laki-laki yang membuatnya berhenti dari pekerjaan "kotornya" itu.
Laki-laki yang mau membantu keuangan keluarganya.
Tapi, beberapa kali, Mira mengalami kekerasan verbal dan fisik oleh sang pacar, yang kemudian dia tinggalkan.
"Harusnya menikah tahun ini, tapi 'kan udahan. Soalnya, baru tahu, makin ke sini, dia makin kasar. Gimana kalau rumah tangga," katanya.
Kini, Mira sedang menata kembali hidupnya.
Beruntung, ia mendapatkan pekerjaan sebagai office girl di sebuah instansi pemerintahan.
Gajinya tentu saja lebih kecil, tapi Mira mengaku senang.
Ia juga giat mengikuti kursus tata rias sebagai jalan untuk meraih cita-citanya sebagai makeup artist.
Satu yang jadi harapan dia saat ini, membantu sang mama.
"Pikiran saya sekarang cuma pengen bantuin mama doang, soalnya mama yang terus kerja, enggak pernah ngeluh. Mama kerja apa juga tetap mau, asalkan itu baik buat keluarga," ungkap Mira. Air matanya berlinang. (*)
(Artikel ini disarikan dari laporan investigasi BBC Indonesia)