Laporan Wartawan Grid.ID, Annisa Suminar
Grid.ID – Sepuluh tahun belakangan, ‘kejayaan’ busana etnik dari kain asli Indonesia mulai diminati seluruh kalangan.
Jika dulu wastra nusantara terkesan ‘segmented’ untuk mereka yang gemar mengoleksi motif cantik dari batik, tenun, songket dan lainnya, kini justru sebaliknya.
Yap, keberhasilan para penggiat mode serta pelaku bisnis untuk membawa wastra Indonesia menjadi ‘bahan’ utama busana dalam industri fashion terbilang cukup berhasil.
Dengan mudahnya, kamu bisa menemukan sederet desainer muda yang tak malu dan bahkan sangat bangga mengangkat busana etnik yang begitu cantik dari batik, songket, tenun dan lainnya.
Nggak sampai di situ saja, hebatnya, para desainer Indonesia juga sukses menampilkan wastra nusantara dalam gaya modern yang memiliki daya jual tinggi.
Ini membuktikkan bahwa kemajuan industri fashion dan juga tekstil tidak membuat popularitas kain tradisional ini kalah bersaing.
(Ini Cara Vivi Zubedi Membuat Kain Tenun Tradisional Agar Dilirik Penikmat Fashion Dunia)
Bahkan kini, banyak masyarakat yang minat akan kain tradisional sehingga digunakan sebagai busana sehari-hari.
Meski demikian, ada juga yang tidak menggunakannya karena harganya relatif mahal.
Banyak stigma masyarakat yang mengatakan bahwa kain warisan budaya ini dijual dengan harga yang relatif tinggi.
Lalu bagaimana seorang desainer Wignyo Rahadi menanggapi hal tersebut? Ini dia jawaban desainer Indonesia Wignyo Rahadia mengenai harga kain tradisional Indonesia yang terbilang mahal.
"Mahal itu, kan, sangat relatif, satu orang pernah beli baju harganya 500 yang bukan kain tradisional. Padahal, kain tradisional yang di bawah 500 juga ada, loh," ungkap Wignyo Rahadi kepada Stylo Grid.ID saat ditemui dalam acara Pesona Busana dan Aksesoris Nusantara 2018, di Jakarta, Rabu (14/03/2018).
Menurutnya harga kain yang cukup tinggi dirasa wajar sebagai ganti upah para pengrajin dalam membuatnya.
"Kalau imagenya memang mahal sampai yang berjuta-juta, karena memang prosesnya lama. satu kain dengan panjang 3 meter aja bisa sampe 3 minggu. Lah, kalau upah satu harinya 50 ribu, kalau dikalikan tiga minggu udah berapa, kan udah mahal sekali jatohnya," bebernya kepada Stylo Grid.ID.
Harga yang mahal merupakan salah satu apresiasi terhadap pengrajin yang telah bersedia untuk melestarikan kain khas Indonesia.
Namun sayangnya, para pengrajin tidak menjadikan pekerjaan ini sebagai pekerjaan utama melainkan sampingan.
(Dian Pelangi Pamerkan Busana Batik dengan Teknik Arsiran di Panggung Mode Jakarta Fashion Week 2018)
"Tapi, kan, kalau pengrajin upahnya gak 50 ribu Rupiah, soalnya menenun atau membatik itu masih sampingan. Nah ini yang sebenernya saya sedang berusaha bagaimana para temen-temen pelaku penenun atau pembatik ini melakukannya tidak menjadi sampingan," tutupnya.
Salah satu usaha yang dilakukan Wignyo adalah mengenalkan kain tradisional (yang dalam hal ini tenun) untuk diakui di mata dunia. (*)