Grid.ID - Tarif penerbangan di Indonesia pada tahun ini sedang mengalami kenaikan, utamanya maskapai milik negara, Garuda Indonesia.
Sudah bukan rahasia lagi jika Garuda Indonesia kerap mematok tarif tinggi dibandingkan dengan maskapai penerbangan lain.
Pasalnya, Garuda Indonesia memang dikenal memiliki fasilitas lengkap dan memberikan pelayanan yang cukup baik kepada penumpang dengan optimal.
Selain itu, harga bahan bakar pesawat, avtur, saat ini juga masih mahal.
Dari penelusuran Kontan pada 15 Desember 2019 lalu, tarif penerbangan termahal untuk rute Jakarta - Denpasar masih dipegang oleh Garuda Indonesia.
Maskapai Air Asia mematok harga paling murah, untuk penerbangan 23 Februari 2019 lalu pukul 21.30 dibanderol dengan harga Rp 696.100.
Pada penerbangan di tanggal dan rute yang sama, Lion Air mematok tarif Rp 708.000, sedangkan untuk tarif di jam yang banyak diincar, Lion Air mematok tarif Rp 829 ribu.
Maskapai Citilink mematok tarif Rp 1,2 juta di seluruh slot penerbangan dengan rute yang sama.
Selanjutnya, Sriwijaya Air mematok tarif Rp 1,3 juta untuk penerbangan dengan rute dan jam yang sama.
Batik Air mematok tarif Rp 1,1 juta untuk penerbangan pukul 18.30 WIB, sedangkan pada pukul 06.00 dan 08.55, Batik Air mematok harga Rp 1,3 juta dan Rp 1,4 juta.
Sementara Garuda Indonesia mematok tarif Rp 1,9 juta di rute yang sama.
Meski dinilai sebagai maskapai penerbangan dengan tarif paling mahal, pihak Garuda Indonesia membantah hal tersebut.
Hal itu disampaikan oleh pengganti Ari Askhara, Pelaksana tugas (Plt) Direktur Utama Garuda Indonesia Fuad Rizal kepada Kompas.com, saat ditemui di Cengkareng pada Jumat (27/12/2019) ini.
Fuad mengungkapkan bahwa tarif per kilometer pesawat lebih murah jika dibandingkan tarif ojek online (ojol).
Melansir laman Kompas.com, Fuad menuturkan bahwa saat ini rata-rata tarif pesawat terbang per kilometernya hanya Rp 2.500 per penumpang.
Sedangkan tarif ojek online mematok tarif per kilometernya Rp 2.600.
"Jadi biar mengerti semua, memang secara industri tarif penerbangan di Indonesia sudah sangat murah,” ungkap Fuad.
Lebih lanjut Fuad menjelaskan jika maskapai harus menurunkan tarif lebih dari itu, maka Garuda bisa merugi.
Fuad pun kemudian mencontohkan belasan maskapai penerbangan di Indonesia yang telah gulung tikar karena mengalami kerugian.
“Dari sisi harga industrinya sudah tidak sustain sama sekali. Industrinya bisa rusak sendiri dan mati.
"Sudah lebih dari 15 airlines yang mati dalam 10 tahun karena kompetisinya tidak sehat," lanjutnya.
Tahun ini, Garuda Indonesia telah menjual tiketnya 85 persen dari tarif batas atas.
“Dari 2016 Garuda hanya menjual 60 persen dari tarif range-nya. Citilink 30 persen di bawah.
"Sehingga secara rata-rata Garuda kenaikan harganya 25 persen. Citilink 40 persen setiap tahunnya," tandasnya.
(*)