Tahun 2017 lalu, selama kegiatan terapi seni di sekolah desa, hampir semua anak-anak menggunakan pensil warnanya untuk menggambar dan mewarnai orang-orang yang membawa senjata api.
Untuk pertama kalinya sejak tahun 1960, konflik akhirnya selesai.
(Inilah 10 Terpadat di Dunia, 7 Kota Berada di Asia)
Meskipun pada tahun 2016, referendum sipil menolak perjanjian damai antara FARC dan pemerintah Kolombia.
Namun perjanjian ini direvisi dan diratifikasi kembali beberapa bulan kemudian.
Jalan menuju perdamaian memang belum pasti tapi setidaknya gencatan senjata masih dilakukan.
Sayangnya, setelah perang terhenti, masyarakat La Puria tetap diabaikan oleh negara.
Tanpa bantuan pemerintah di bidang kesehatan dan pelayanan umum, gizi buruk serta sanitasi yang layak, menambah tantangan yang harus mereka hadapi pascakonflik Kolombia.
“Saya merasa konsekuensi perang masih berlanjut,” ujar Ivan.
Meskipun begitu, Ivan melihat sedikit cahaya di sana.
(8 Kisah Perjuangan Kembar Siam di Indonesia, Salah Satu Kembarannya Ada yang Meninggal Dunia)
Ia terkesima dengan semangat hidup orang-orang La Puria.
“Setelah berjalan jauh dari hutan, saya ingat mencapai tempat di mana terdapat banyak warna, banyak penduduk La Puria yang mengenakan pakaian berwarna terang. Sangat indah melihat warna itu di tengah-tengah tempat kelabu dan penuh kesedihan,” kenang Ivan.
Bagi Ivan yang tidak memahami bahasa Embera, begitu pun penduduk yang tidak mengerti bahasa Spanyol, bahasa visual menjadi satu-satunya penghubung mereka.
“Kami berkomunikasi melalui kamera,” pungkasnya.
Dilansir dari Wikipedia, Kolombia mengalami konflik intensif berskala kecil dengan grup pemberontak gerilya, mantan militer, pedagang narkoba dan korupsi di sejumlah kota-kota kecil.
Konlfik ini awalnya terjadi sekitar tahun 1964-1966, ketika Pasukan Militer Revolusioner Kolombia (FARC) dan Pasukan Liberal Nasional (ELN) didirikan.
Sejak itu dimulailah kampanye melakukan pemberontakan 'gerilya' melawan pemerintahan Kolombia. (*)