Grid.ID - Sekelompok warga di Desa Pogung Jurutengah, Bayan, Purworejo, Jawa Tengah mengatasnamakan diri sebagai Keraton Agung Sejagat.
Dilansir dari Kompas.com, Keraton Agung Sejagat juga mengklaim dirinya sebagai kerajaan baru setelah 500 tahun berakhirnya imperium Majapahit.
Berdasarkan informasi yang didapat, jumlah anggota Keraton Agung Sejagat mencapai sekitar 450 orang.
Mereka mengaku sebagai induk dari seluruh negara di dunia, Keraton Agung Sejagat bersedia menjadi wadah terkait konflik yang ada di dunia ini.
Melalui cara itu, Keraton Agung Sejagat mengklaim akan memperbaiki kedaulatan, sistem bernegara, sistem ekonomi secara moneter ataupun global.
Layaknya kerajaan, keberadaan Keraton Agung Sejagat ditandai dengan bangunan semacam pendopo yang belum selesai pembangunannya.
Di sebelah utara pendopo, ada sebuah kolam yang keberadaannya sangat disakralkan dan sebuah batu prasasti yang disebut Prasasti I Bumi Mataram.
Prasasti tersebut bertuliskan huruf Jawa, di kiri prasasti ada tanda dua telapak kaki, dan di bagian kanan ada semacam simbol.
Mereka juga dipimpin oleh raja atau Sinuhun bernama Totok Santosa, dan ratu atau Dyah Gitarja bernama Fanni Aminadia.
Baik raja, ratu dan seluruh pengikut Keraton Agung Sejagat memakai seragam yang justru terlihat mirip dengan busana kerajaan Brunei Darussalam.
Baca Juga: Burahol Tanaman Langka yang Bikin Wangi Badan Putri Keraton, Manfaat Kesehatannya Luar Biasa
Dilansir dari TribunJateng, Sri Utami selaku tetangga yang rumahnya berada dekat dengan istana kerajaan Keraton Agung Sejagat (KAS) mengungkapkan beberapa fakta.
Fakta pertama, Totok Santosa pernah menjadi pemimpin sebuah organisasi bernama Jogjakarta Development Committe (JOGJA-DEC).
Jogjakarta Development Economic Committe (DEC) adalah organisasi yang bergerak di bidang kemasyarakatan dan kemanusiaan.
Sri Utami sendiri pernah menjadi anggota dan ikut dalam organisasi yang dipimpin oleh Totok Santosa tersebut.
"Sekitar tiga tahun yang lalu, awal kegiatannya seperti membantu rakyat kecil. Waktu terbentuk sudah ada bidang-bidangnya seperti pendidikan, sanitasi dan lain-lainnya," ungkap Utami.
Fakta kedua, sebelum bergabung dalam DEC, para calon anggota harus membayar sempat iuran kartu anggota (KTA) sebesar Rp 15 ribu, dan seragam seharga Rp 3 juta.
"Selain iuran KTA suruh bayar seragam juga senilai Rp 3 juta. Seragamnya itu dulu seperti army atau militer loreng-loreng," lanjut ungkapnya.
Selain itu, Totok Santosa juga menjanjikan mendatangkan Dolar Amerika Serikat ke Indonesia untuk membiayai kegiatannya dan memberi kesejahteraan bagi Bangsa Indonesia.
Karena merasa tidak ada kegiatan yang jelas dan hanya kumpul-kumpul saja, Utami akhirnya memutuskan keluar dari EDC.
"Bilangnya bergerak di bidang kemanusiaan, tetapi nyatanya belum ada yang disalurkan. Karena keberadaanya EDC itu dulu masih merintis disini," pungkasnya.
Keraton Agung Sejagat ini pun ramai diberitakan berbagai media dan membuat warga resah.
Raja dan ratu Keraton Agung Sejagat (KAS) diamankan oleh pihak kepolisian saat dalam perjalanan ke markas Keraton Agung Sejagat di Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Baca Juga: Manjakan Diri Ala Puteri Keraton di Taman Sari Royal Heritage Spa
Penangkapan ini dikonfirmasi Dandim 07/08 Purworejo Letkol Muchlis Gasim.
"Memang benar, raja dan istri Keraton Agung Sejagat sudah diamankan di Polres," ujar Gasim.
Keduanya saat ini sudah dibawa dan diamankan ke Mapolres Purworejo untuk dimintai keterangan lebih lanjut.
Rencananya, keduanya akan diperiksa di Sejagat.
Selain pimpinan Keraton Agung Sejagat, polisi juga melakukan penggeledahan istana dan menangkap sejumlah punggawa keraton.
Dilansir dari Kompas.com, polisi pun masih mendalami motif berdirinya Keraton Agung Sejagat.
"Kami ingin mengetahui motif apa di balik deklarasi keraton tersebut," kata Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Rycko Amelza Dahniel di Semarang, pada Selasa (14/1/2020).
Jajaran intelijen dan reserse kriminal umum telah diterjunkan untuk mengumpulkan data-data berkaitan dengan keraton pimpinan Totok Santosa tersebut.
Pengumpulan data berkaitan dengan profil sekaligus aspek legalitasnya.
"Negara kita adalah negara hukum. Pertama-tama kita akan mempelajari aspek legalitas," ucap Rycko.
Kemudian, kata dia, aspek sosial kultural, termasuk kesejarahan.
(*)