Laporan Wartawan Grid.ID, Novia Tri Astuti
Grid.ID - Seorang ibu menuntut keadilan bagi putrinya yang telah terbunuh dan diperkosa.
Tan Siew Lin ibu dari Annie Kok Yin Cheng menahan tangis ketika berbicara dalam konferensi pers.
Konferensi pers yang berlangsung di Divisi Urusan Hukum Departemen Perdana Menteri di Putrajaya ini berlangsung pada Selasa (14/1/2020).
Bersama anggota keluarga korban pembunuhan dan pemerkosaan lainnya, Tan mengungkapkan bahwa hukum di Putrajaya, Malaysia tidak peka terhadap perasaan korban dan keluarga.
Sebab keputusan pemerintah menghapuskan hukuman mati bagi seseorang yang telah bertindak keji dianggapnya menjadi solusi yang tidak adil.
Melansir dari Malaymail pada Sabtu (18/1/2020) Tan mengklaim bahwa keadilan tidak dilayani secara penuh dan pelaku masih diizinkan bebas, sementara korban tak bisa menghindar dari perbuatan keji yang telah dilakukan pelaku.
Baca Juga: Sebelum Meninggal Dunia, Mendiang Ade Irawan Minta Dipakaikan Wig
"Kami (Tan dan putrinya) bisa merayakan ulang tahun pada tanggal enam Juni setiap tahun, namun sekarang tidak, dia (Annie) sudah mati tapi pemerintah justru menghapuskan hukuman mati bagi pelaku kejahatan," ungkap Tan menahan tangis.
"Bagaimana ini bisa disebut adil? Jika dia (pelaku) dilepaskan, saya akan menemuinya atau meminta seseorang untuk menemukannya dan menembaknya hingga mati," ucap Tan.
Menurut keterangan Annie Kok Yin Cheng diketahui telah dibunuh dan diperkosa pada tahun 2009 lalu.
Sampai kini Tan mengaku masih mencari keadilan dan menyerahkan momerandum dengan 50.000 tanda tangan dari masyarakat untuk menentang penghapusan hukuman mati.
Baca Juga: Tak Mau Komentar, Mulan Jameela Hanya Berharap Kasus Investasi Bodong MeMiles Cepat Terselesaikan
Hanya saja usaha Tan dan para anggota keluarga korban kejahatan yang lain justru ditolak.
"Pemerintah tidak mengerti penderitaan kami. Jika pemerintah tetap menghapusnya, kami akan membuat keributan,” tambah Tan.
Sementara itu, beberapa anggota keluarga korban kejahatan lainnya akhirnya diminta mendatangi pertemuan dengan Komite Pilihan Parlemen.
Mereka dipersilakan untuk mengajukan permohonan pencabutan hukuman mati untuk kejahatan yang melibatkan pembunuhan berencana dan mengakibatkan kematian serta terorisme.
Setelah menghadiri pertemuan mereka menyampaikan bahwa Komite yang memutuskan penghapuskan hukuman mati itu hanya formalitas.
“Mereka bertanya kepada kami, apakah hukuman mati dijatuhkan dan pelakunya terbunuh, akankah hal itu membuat orang yang Anda cintai hidup kembali dan akankah itu benar-benar membuat kami bahagia?"
"Saya merasa ini adalah pertanyaan konyol," kata Mansur Ibrahim dari UMMAH, mewakili keluarga balita yang terbunuh, Hafiz dan Nurulhanim.
Menurut para keluarga korban penghapusan hukuman mati ini justru akan membuat kejahatan semakin meningkat karena tidak berpihak pada korban.
(*)