Sejalan dengan itu, Ernest Renan seorang filsuf terkemuka dari Perancis mengatakan dalam bukunya Qu’est-ce qu’une nation (apa itu sebuah bangsa), bahwa bangsa baru akan berdiri ketika terdapat keinginan besar untuk hidup bersama, dan ketika seluruh yang terlibat telah berhasil melepaskan berbagai identitas premordial mereka.
Merenungi kembali kiprah pemuda-pemudi di era revolusi kemerdekaan, kita akan menyadari bahwa para pemuda-pemudi telah berhasil untuk melepas segala bentuk fanatisme, etnosentrisme, dan egosentrisme mereka demi Indonesia.
Mereka adalah aktor utama dibalik semangat keberagamaan.
Pop Culture, yang kini menjadi bahasa utama generasi muda dalam berekspresi, juga merupakan sebuah kultur yang merayakan keberagaman.
Sebab, kultur populer senantiasa bersifat demokratis, ia merupakan agregasi juga akumulasi nilai-nilai anak muda yang berada pada arus tengah.
Musik sebagai bagian dari kultur populer, tetap menjadi medium paling kuat dalam menyuarakan keberagaman.
Berbagai temuan terkini dalam bidang neurosains mendukung hal tersebut, yaitu bahwa musik dapat mengoptimalkan berbagai simpul bagian otak manusia yang berhubungan dengan empati.
Aktivisme pemuda-pemudi abad 21 ‘Kids jaman now’ telah kembali menjadi pemuda-pemudi sebagaimana pada era revolusi kemerdekaan.
Di luar dugaan, di tengah terpaan konsumerisme dan konservatisme, generasi muda Indonesia kembali menunjukkan sifat filantropis (meluangkan waktu dan tenaga untuk memikirkan permasalahan kemanusiaan).
Hal tersebut kita saksikan bersama-sama ketika generasi muda Indonesia kembali mengekspresikan aktivisme di ruang publik pada September hingga Oktober 2019 untuk mencabut revisi UU KPK.
Secara sporadis berbagai gerakan filantropis oleh generasi muda juga telah berkembang di berbagai daerah dalam bentuk aksi kreativitas; seperti transformasi kampung warna-warni di Jodipan Malang, hingga penyelamatan hutan melalui festival musik di Rimbang Baling Riau.
Generasi muda telah kembali ke akar identitasnya sebagai ‘pemuda-pemudi’. Mereka tengah meneruskan tongkat estafet imajinasi Indonesia, bahkan mengimajinasikan ulang ke-Indonesia-an kita. Aktivisme akan menjadi tren baru bagi generasi muda di awal dekade ini.
Aktivisme yang berpadu dengan kreativitas dan aktivisme yang lebur dengan musik serta seni pertunjukkan.
Permasalahan intoleransi yang berkembang di tengah masyarakat serta menghantui kebinekaan kita sebenarnya dapat diselesaikan dengan pendekatan terbaik apabila generasi muda diberikan ruang untuk berperan.
Salah satunya melalui musik sebagai medium empati yang paling jitu. Intoleransi tidak tepat dilawan dengan berbagai larangan-larangan baku, maupun indoktrinasi
. Paradigma konvensional ini perlu segera kita tinggalkan karena tidak sejalan dengan nilai-nilai kultur populer abad ke 21.
Sejarah konggres pemuda membuktikan bahwa pemuda-pemudi adalah agen kebinekaan yang terbaik. Di tempat lain, musik adalah bahasa universal serta populer yang dapat menembus berbagai rintangan psikologis.
Hanya musik yang mampu untuk menembus kalbu manusia tanpa perlawanan sengit.
Aktivisme pada abad ke 21 adalah aktivisme yang menempatkan musik dan generasi muda pada poros utama.
Kita perlu ingat bahwa, melalui musik dan aktivisme Wage Rudolf Supratman Imajinasi Indonesia lahir.
Di masa depan melalui musik dan aktivisme pula Imajinasi tersebut akan terus ada.