“Kau bilang Tuhan sangat dekat, namun kau sendiri memanggilnya dengan pengeras suara setiap saat.”
Grid.ID - Potongan puisi ulama KH Ahmad Mustofa Bisri yang akrab dikenal Gus Mus itu menuai reaksi keras dari banyak pihak.
Seperti halnya kasus puisi 'Ibu Indonesia' karya Sukmawati Soekarnoputri, potongan puisi Gus Mus mendapat cela dari segelintir orang yang mengganggap potongan puisi itu merendahkan Islam.
Namun berbeda nasib dengan Sukmawati, permasalahan puisi ini terhenti begitu saja ketika si pelapor, Forum Umat Islam Bersatu yang dipimpin Rahmat Himran mengetahui puisi itu milik ulama besar Gus Mus.
Sampai disini, mari kita tanggalkan sejenak syak wasangka buruk mengapa segelintir orang di Indonesia sangat mudah mencap kafir dan menuding seseorang melecehkan agama hanya karena sebuah potongan kalimat multi interpretasi.
Dan mari kita lapangkan dada menepis kecurigaan kita pada cara berpikir segelintir orang yang dengan mudah 'memaafkan' kasus serupa saat tahu si pembuat adalah ulama besar -- meski faktanya puisi Gus Mus memang tidak patut dipermasalahkan.
Menarik untuk menggarisbawahi satu poin yang mendorong Forum Umat Islam Bersatu yang dipimpin Rahmat Himran melaporkan puisi Gus Mus karena menyebut 'Tuhan lebih dekat tapi masih sering dipanggil dengan pengeras suara.' yakni: pengeras suara.
Berikut Grid.ID akan memaparkan sejarah pengeras suara di Indonesia:
Sejarah Pengeras Suara di Indonesia
Orang-orang Indonesia acap mengenal pengeras suara sebagai TOA.
Meski TOA sebenarnya adalah merek dagang perusahaan alat elektronik asal Jepang.
Berdiri pada 1934, TOA masuk ke Indonesia pada 1960-an.
Lalu menjadi alat pengeras suara paling sohor di desa dan kota.
G.F. Pijper, seorang Belanda pengkaji Islam di Indonesia, sebenarnya telah menyaksikan kehadiran pengeras suara di masjid Indonesia jauh sebelum 1960-an.
“Pengeras suara dikenal luas untuk menyuarakan azan di Indonesia sejak tahun 1930-an.” tulis Pijper dalam Studien over de geschiedenis van de Islam.
Dalam tulisannya, Pijper menceritakan bahwa Masjid Agung Surakarta adalah masjid peratama yang menggunakan pengeras suara.
Sementara itu pada buku Masa Lalu Dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia, sejarawan Van Dijk menulis adanya ketidaksukaan orang-orang Belanda pada suara azan yang keluar dari pengeras suara saat itu.
Meski kenyataannya mereka lah yang memperkenalkan pengeras suara ke orang-orang yang bermukim di Hindia Belanda (sebutan Indonesia kala itu) bersamaan dengan masuknya jaringan listrik ke Hindia Belanda.
Nyaris Diamputasi, Seorang Wanita Sembuhkan Kakinya Gunakan Gula, Pakar Kesehatan Beri Jawaban
Memasuki zaman merdeka, ketika pengeras suara mulai digunakan secara massal di masjid-masjid, masyarakat mulai berdebat menyoal penggunaan pengeras suara.
Debat itu muncul pada 1970-an. “Bagaimana kalau ada orang yang sakit di sekitar masjid dan meninggal karena suara azan yang terlalu keras, misalnya,” protes seorang warga Jakarta, termuat di Ekspres, 22 Agustus 1970.
Sementara itu, ada pula warga lain yang mengaku tidak keberatan dengan azan melalui pengeras suara.
“Sekalipun saya orang Budhis, saya bisa merasakan hikmah yang agung itu dan saya senang,” kata Oka Diputhera, pegawai di Departemen Agama kepada Ekspres.
Oka Diputhera hanya mengkritisi tingkat kebisingan pengeras suara dari masjid untuk kegiatan di luar azan.
5 Kebiasaan di Group WhatsApp yang Tidak Disadari Itu Nyebelin Banget!
Sebab, pengurus masjid seringkali menggunakan pengeras suara di luar azan.
Seperti untuk doa, zikir, dan pembacaan Alquran yang kelewat malam atau jauh sebelum subuh.
Penulis, Ahmad Mathar dikutip Grid.ID dari sebuah wawancara di Historia menceritakan, pengeras suara untuk azan di Jakarta sudah berlangsung antara 1960-1964.
“Di daerah Pasar Minggu, Masjid al-Makmur, masjid besar di sana, sudah pakai pengeras suara untuk azan,” lanjut Mathar.
Tapi tak semua masjid di Jakarta sudah menggunakan pengeras suara ketika itu.
Beda masjid, beda pula waktu penggunaan pengeras suaranya.
Masjid besar semisal al-Azhar, Jakarta, baru menggunakan pengeras suara pada 1970-an.
Padahal masjid itu selesai dibangun pada 1958.
Demikian laporan Panji Masyarakat 1978 ketika memperingati 20 Tahun Masjid Agung al-Azhar.
Kasus menarik lainnya, sebuah masjid di Kebon Jeruk, Jakarta, pernah mengharamkan penggunaan pengeras suara pada 1970-an.
“Karena tidak ada pada zaman Nabi,” kata A.M. Fatwa, koordinator Dakwah Islam Jakarta, kepada Kompas, 12 Januari 1977.
Sementara hari ini, pengeras suara masif digunakan di seluruh penjuru Indonesia, dan pro kontra soal kebisingan pengeras suara di masjid sayup-sayup terdengar di masyarakat, di antara diskusi-diskusi kecil yang digempur berbagai macam kebisingan. (*)