Viva, merek kosmetik dalam negeri pertama, baru beredar pada 1960-an.
Memasuki era Orde Baru, merebaknya jumlah kelas menengah diiringi dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Daya beli masyarakat saat itu ikut meningkat. Mendadak kesadaran masyarakat untuk melakukan perawatan kulit tumbuh perlahan, dan produk-produk kosmetik dalam negeri bermunculan, menilik apa yang dipaparkan Jean Couteau dalam bukunya, The Entrepreneur Behind The Science of Beauty.
Jauh sebelum bermunculan klinik kecantikan, produk kosmetik dijajakan melalui tangan-tangan kapster di salon-salon kecantikan.
“Jaman dulu mulanya dari salon kecantikan, setelah itu mereka mendirikan pabrik, baru bikin kosmetik. Martha Tilaar dulu mulanya dari salon di Menteng,” kata Sjarif Wasitaatmadja, dokter kulit sejak 1970-an, seperti dikutip Grid.ID dari Historia.
Sjarif berkisah pernah menjadi asisten dr. Retno Iswari Tranggono selama 10 tahun.
Nyaris Diamputasi, Seorang Wanita Sembuhkan Kakinya Gunakan Gula, Pakar Kesehatan Beri Jawaban
Retno merupakan penggagas berdirinya subbagian kosmetik dan bedah kulit (kini dikenal dengan dermatologi kosmetik) di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Subbagian ini diresmikan tahun 1 April 1970.
“Di situ dokter mulai terlibat di dunia kecantikan. Kami melakukan pertemuan dengan Ikatan Ahli Kecantikan Wijaya Kusuma. Saya baru ikut tahun 1970-an sebagai asisten Ibu Retno. Kami membangun citra kenapa dokter harus berada di situ (perawatan kecantikan),” kata Sjarif.
Mulanya, kehadiran dokter dalam perawatan kecantikan sempat mendapat penolakan dari para ahli kecantikan.
Pasalnya ada beberapa hal yang menahun diterapkan salon kecantikan ternyata menuai kritikan dari para dokter.