Grid.ID - Seiring perawatan estetika kulit menjelma jadi gaya hidup masyarakat modern, klinik kecantikan menjamur di berbagai sudut perkotaan.
Berbagai merek dengan beragam harga berlomba menarik hati masyarakat; terpajang di baliho-baliho jalan, menyusup di mall hingga gang sempit.
Ekspansi terapi kecantikan pun tak hanya menyasar orang dewasa, generasi milenials bahkan memasukkan terapi kecantikan dalam list kebutuhan bulanan mereka.
Pilihan terapinya pun beragam: dari pengunaan bahan-bahan alami nan tradisional, perawatan bersama kapster di salon kecantikan hingga klinik kecantikan modern yang melibatkan dokter dan mendominasi hari ini.
Ribut Soal Puisi Gus Mus: Mengungkap Asal Usul Pengeras Suara di Indonesia
Ya, klinik kecantikan menggunakan dokter spesialis kulit memang merajai tema-tema perawatan beberapa tahun belakangan.
Namun tak banyak yang tahu, sejarah mencatat proses panjang yang melatari keterlibatan dokter dalam klinik kecantikan di Indonesia.
Benarkah keterlibatan dokter dalam klinik kecantikan sempat mendapat penolakan dari beberapa pihak?
Sejarah Keterlibatan Dokter dalam Bisnis Kecantikan
Masyarakat Indonesia hingga tahun 1950-an melakukan perawatan kecantikan menggunakan ramuan tradisional.
Sebab klinik kecantikan kala itu belum ada, sementara salon kecantikan sangat jarang, sama halnya dengan produk kosmetik yang hanya bisa diimpor dari luar negeri dan dijangkau kalangan menengah ke atas.
Di rentang tahun perekonomian Indonesia masih begitu lemah, ramuan tradisional diproduksi secara rumahan dan pabrik kosmetik belum satupun yang didirikan.
Viva, merek kosmetik dalam negeri pertama, baru beredar pada 1960-an.
Memasuki era Orde Baru, merebaknya jumlah kelas menengah diiringi dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Daya beli masyarakat saat itu ikut meningkat. Mendadak kesadaran masyarakat untuk melakukan perawatan kulit tumbuh perlahan, dan produk-produk kosmetik dalam negeri bermunculan, menilik apa yang dipaparkan Jean Couteau dalam bukunya, The Entrepreneur Behind The Science of Beauty.
Jauh sebelum bermunculan klinik kecantikan, produk kosmetik dijajakan melalui tangan-tangan kapster di salon-salon kecantikan.
“Jaman dulu mulanya dari salon kecantikan, setelah itu mereka mendirikan pabrik, baru bikin kosmetik. Martha Tilaar dulu mulanya dari salon di Menteng,” kata Sjarif Wasitaatmadja, dokter kulit sejak 1970-an, seperti dikutip Grid.ID dari Historia.
Sjarif berkisah pernah menjadi asisten dr. Retno Iswari Tranggono selama 10 tahun.
Nyaris Diamputasi, Seorang Wanita Sembuhkan Kakinya Gunakan Gula, Pakar Kesehatan Beri Jawaban
Retno merupakan penggagas berdirinya subbagian kosmetik dan bedah kulit (kini dikenal dengan dermatologi kosmetik) di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Subbagian ini diresmikan tahun 1 April 1970.
“Di situ dokter mulai terlibat di dunia kecantikan. Kami melakukan pertemuan dengan Ikatan Ahli Kecantikan Wijaya Kusuma. Saya baru ikut tahun 1970-an sebagai asisten Ibu Retno. Kami membangun citra kenapa dokter harus berada di situ (perawatan kecantikan),” kata Sjarif.
Mulanya, kehadiran dokter dalam perawatan kecantikan sempat mendapat penolakan dari para ahli kecantikan.
Pasalnya ada beberapa hal yang menahun diterapkan salon kecantikan ternyata menuai kritikan dari para dokter.
Pengobatan jerawat yang semula dipencet, misalnya, lantas tidak diperbolehkan para dokter kemudian.
“Mereka juga perlu saran dari kami (dokter). Saya ingat pertemuan dengan Wijaya Kusuma, kami dikecam. ‘Buat apa ngobatin jerawat harus begitu?’. Sedangkan dokter harus pakai antibiotik dan lain-lain,” kenang Sjarif.
Belajar dari Kisah Parinah, TKI yang Dinyatakan Hilang 18 Tahun dan Ditemukan di Inggris, Kenali Ciri Agen TKI Palsu dan Ilegal
Penolakan itu tak berlangsung lama, dan perawatan kulit yang melibatkan ahli medis mulai diterima dan menjadi pilihan.
Pada 1980-an klinik kecantikan bermunculan. Sebagian merupakan pengembangan dari salon kecantikan, sebagian lain pengembangan dari praktik dokter kulit.
Masifnya pembangunan klinik kecantikan, membuat Departemen Kesehatan (Depkes) mengeluarkan Pedoman Penyelenggaraan Klinik Kecantikan tahun 2007.
“Depkes mengatur karena terlalu banyak klinik kecantikan muncul. Sama Depkes dibenerin. Harus ada syaratnya, tidak hanya sekadar ada dokter untuk memenuhi syarat jadi klinik,” kata Sajrif.
Keterlibatan dokter dalam wilayah kecantikan kemudian mengubah pola perawatan kulit di Indonesia.
Namun seperti halnya puspa ragam merek dagang klinik kecantikan, tak sedikit orang yang bertahan memilih cara tradisional demi merawat kesehatan kulitnya hari ini. (*)