Kapasitas yang melebihi batas beban normal Jembatan Babat Widang selama bertahun-tahun sudah seharusnya mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Benarkah pemerintah lamban mengaudit infrastruktur yang berusia puluhan tahun?
Grid.ID - Ambruknya Jembatan Babat Widang di Tuban, Jawa Timur, Selasa (17/4/2018) menyebabkan tiga truk dan satu motor meluncur bebas ke Sungai Bengawan Solo.
Paska kejadian itu, pengemudi truk, Mukhlisin asal Gresik dinyatakan tewas.
Total beban yang ditanggung Jembatan Babat Widang dianggap melebihi beban normal jembatan berusia lebih dari 40 tahun itu.
Dibangun tahun 1970-an, jembatan ini diketahui hanya mampu menampung beban sekitar 30-40 ton.
"Jadi bebannya per kendaraan mungkin bisa sekitar 30-40 ton. Kalau bertiga ngumpul semua [beban] sekitar lebih dari 100 ton," ungkap Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub, Budi Setiyadi dikutip Grid.ID dari BBC.
Sementara, Rabu (18/04) aparat masih berupaya mengevakuasi truk bermuatan pasir dan batubara yang terjun ke dalam sungai.
Di sisi lain, Guru Besar Manajemen Konstruksi dari Universitas Pelita Harapan Jakarta, Manlian Ronald Simanjuntak, memandang pemerintah lamban mengaudit infrastruktur yang berusia puluhan tahun.
Menurut Manlian, kapasitas yang melebihi batas beban normal Jembatan Babat Widang selama bertahun-tahun sudah seharusnya mendapat perhatian lebih dari pemerintah.
Terlebih jembatan ini merupakan satu-satunya akses perlintasan Tuban-Lamongan di jalur Pantai Utara Jawa.
"Jadi logika sederhana, harusnya jembatan sudah semestinya diganti, tidak lagi bisa dioptimalkan karena bentang, kemampuan struktur, elemen strukturnya sudah tidak mungkin, " tegas Manlian.
Menilik laporan Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional VIII Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR, Jembatan Babat Widang pernah mengalami kerusakan pada akhir Oktober 2017.
Seperti Manusia, Ribuan Karya Seni Juga Ketar-ketir Saat Perang Dunia
Saat itu, baut penghubung badan cross girder lepas dan hilang sebanyak lima buah tiap sisi.
Lantas, akibat getaran yang terjadi pada jembatan, pelat penyambung flens cross girder bagian bawah terputus.
Menilai hal ini, Manlian menganggap pemerintah abai lantaran tak melakukan perawatan yang semestinya terhadap jembatan yang sudah berumur itu.
"Kalau memang terindikasi sudah tidak mampu lagi menahan beban, sudah semestinya diganti. Seharusnya sudah ada sikap tegas, belajar dari pengalaman jembatan Lamongan-Tuban ini, nahasnya bisa jadi ada indikasi pembiaran," tegas dia.
Sebuah Pameran Mengungkap Kisah Anne Frank dan Sahabat Pena-nya di Amerika Serikat
Tudingan pembiaran ditampik oleh Dirjen Bina Marga Kementerian PUPR, Arie Setiadi Moerwanto, yang menegaskan pihaknya selalu melakukan evaluasi berkala dua kali setiap tahun guna memastikan kelayakan jembatan itu.
"Secara umum itu dilakukan pada awal musim hujan dan setelah musim penghujan karena biasanya kerusakan yagn terjadi adalah bangunan bawah jembatan akibat gerusan sungai dan perubahan morfologi sungai," ujar dia.
Arie menambahkan, "selain itu, kondisi-kondisi khusus seperti menjelang mudik, natal dan tahun baru kita juga melakukan evaluasi lagi."
Sementara Budi Setiyadi dari Kementrian Perhubungan menambahkan jembatan ini seyogyanya masuk ke dalam jembatan-jembatan yang akan direhabilitasi pemerintah.
"Sebetulnya jembatan sudah dalam proses kontrak, sudah mau diperbaiki. Kontraknya sudah, tapi belum dimulai, ternyata sudah rusak duluan," akunya. (*)